BUKU : BINGKISAN RINDU, SUKSES MENGGAPAI RIDHA ILAHI
Ini buku kelima karya Haderi Ideris
Penerbit : Hemat Pulishing
ISBN : 978-620-1685-21-1
Tebal : 169 hal
harga : 30.000
Saturday, November 21, 2015
BUKU: PINTAR MENULIS CERPEN DALAM SEPEKAN
BUKU : "PINTAR MENULIS CERPEN DALAM SEPEKAN"
Penulis : Haderi Ideris
Buku ini adalah buku keempat yang saya tulis. Buku Pertama, Mudah Menulis Cerpen. Yang kedua Sekarang saatnya Belajar Menulis dengan Menulis. Ketiga Celoteh Anak Rumput dalam bentuk e-book.
Alhamdulillah buku Pintar Menulis Cerpen dalam sepekan ini beredar nasional. Awalnya buku ini diterbitkan secara inde. Saya menerbitkan buku ini melalui penerbit Drea Media Banjarmasin. Drea Media mencetaknya melaui jasa percetakan yang ada di Jogja.
Kok bisa beredar nasional? Ya, saya tidak menyangka, pihak penerbit menghubungi saya bahwa ada destribotor gramedia yang tertarik dengan buku saya ini. Mereka ingin membeli naskah buku saya itu. Saya yang belum pengalaman dalam hal ini, tidak terlalu memusingkan harga yang ditawarkan mereka. Entah murah, entah mahal saya kurang paham, menurut saya saat itu yang penting buku saya beredar secara nasional, ya niat berbagi pengalaman, niat memberikan manfaat buat pembaca dengan apa yang saya tulis.
Walau demikian, soal harga yang disepakati ternyata pembayarannya tidak sesuai dengan saya harapkan. Agak sedikit memaksakan penerbit memberikan uang yang kurang dari seharusnya, dan sisanya dibayarnya dalam bentuk buku.
Namun, kekecewaan saya sedikit terobati karena mengingat niat awal untuk berbagi, ya sudahlah. Kebanggaan dan kebahagiaan penulis tidak hanya diukur dengan finansial barangkali, namun ada sisi-sisi rohani yang menyeruak penuh kehangatan ketika ada testemoni para pembaca yang termotivasi menulis setelah membaca buku saya itu yang mereka ungkapkan lewan sms. Kebahagiaan saya ini tidak bisa ditukar dengan uang. Ini barangkali yang terus memacu saya untuk terus berkarya, terus menulis walau menulis tidak bisa mendatangkan pundi-pundi uang yang banyak bagi saya.
Jangan salah, ternyata Allah menganugerahkan saya rezeki dalam bentuk dan cara lain. Berkat kerja keras menulis, saya diminta memberikan materi tentang kepenulisan di instansi pemerintah; Perpusda HSU dan Kemenag HSU. Dan, tentu saja saya dibayar untuk itu. Ini cara Allah memberikan balasan buat saya. Alhamdulillah.
Pertanyaannya, kenapa mereka meminta saya memberikan materi tentang kepenulisan? Tentu saja karena mereka tahu bahwa saya menulis buku tentang menulis. Ini menunjukkan bahwa apa yang kita lakukan bukan suatu kesia-siaan. Andai tidak menulis, ngak mungkin juga kan mereka menghubungi saya. Jadi mulai sekarang, lakukan, menulislah.
Jadi, Siapa bilang menulis tidak mendatangkan uang. Kalau toh, tidak mendatangkan uang, menulis dapat mendatangkan berbagai manfaat buat diri sendiri, minimal dengan menulis bermanfaat untuk melatih keterampilan menulis itu sendiri. Ya, kan?
Terampil Menulis, Istiqamah Menulis
14. Istiqamah Menulis, Ingat Manfaat Menulis
Untuk apa menulis, toh pada akhirnya ngak menghasilkan apa-apa. Ini pernyataan dari orang yang merasa gagal dan memvonis diri tak berbakat menulis.
Barangkali yang dimaksudkannya tak menghasilkan apa-apa adalah duit. Memang banyak orang beranggapan menulis tidak bisa diharapkan mendatangkan pundi-pundi uang yang berlimpah. Bahkan, barangkali mereka yang berpenghasilan tetap, profesi sebagai penulis tidak menjadi lirikan.
Namun, bukan berarti tidak ada orang yang mengandalkan penghasilannya dari menulis. Apa pun profesi yang kita tekuni termasuk penulis, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kita benar-benar mencintai profesi itu, keran finansial pun akan mengalir dengan deras.
Sebetulnya motivasi finansial hanya satu bagian dari alasan mengapa orang menulis. Bisa juga sebaliknya, karena finansial tidak bisa diharapkan dari hasil menulis, ini yang melemahkan semangat orang untuk menulis.
Kalau begitu motivasi apa yang bisa membangkitkan semangat untuk terus menulis?
Kita coba kilas balik mencermati penulis atau para ulama zaman dulu. Mereka menulis bukan untuk mendapatkan uang. Mereka yakin rezeki Allah yang memberi. Mereka berkarya semata untuk mendidik, mencerahkan ummat dengan pengetahuan yang mereka miliki. Dan itu mereka lakukan semata mengharap ridha Allah. Mereka menulis sebagai wujud tanggung jawab dan pengabdian kepada Allah. Dari sinilah karya-karya monomental terlahir.
Nah, manakala pijakan kita menulis untuk dakwah, menulis untuk ibadah, motivasinya bukan lagi finansial, tapi jauh dari itu yaitu ridha Allah. Dan, tatkala finansial menghampirinya dianggapnya bonus yang diberikan duluan di dunia, masih banyak sisanya di akhirat.
Di samping motivasi ibadah, motivasi manfaat untuk diri juga bisa membangkitkan semangat untuk terus berkarya. Di antara manfaat menulis untuk diri adalah mencegah kepikunan, menghilangkan stres. Yang jelas manfaat yang sangat dirasakan adalah keterampilan menulis akan terus meningkat. Ya, terampil menulis tentu saja dengan terus berlatih menulis. Mana ada orang yang sekali menulis langsung terampil. Makanya proses latihan dan terus latihan adalah proses yang harus kita jalani. Masalah finansial tak terlalu dipikirkan karena itu adalah bonus dari kerja keras kita selama ini.
Haderi Ideris.
Untuk apa menulis, toh pada akhirnya ngak menghasilkan apa-apa. Ini pernyataan dari orang yang merasa gagal dan memvonis diri tak berbakat menulis.
Barangkali yang dimaksudkannya tak menghasilkan apa-apa adalah duit. Memang banyak orang beranggapan menulis tidak bisa diharapkan mendatangkan pundi-pundi uang yang berlimpah. Bahkan, barangkali mereka yang berpenghasilan tetap, profesi sebagai penulis tidak menjadi lirikan.
Namun, bukan berarti tidak ada orang yang mengandalkan penghasilannya dari menulis. Apa pun profesi yang kita tekuni termasuk penulis, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kita benar-benar mencintai profesi itu, keran finansial pun akan mengalir dengan deras.
Sebetulnya motivasi finansial hanya satu bagian dari alasan mengapa orang menulis. Bisa juga sebaliknya, karena finansial tidak bisa diharapkan dari hasil menulis, ini yang melemahkan semangat orang untuk menulis.
Kalau begitu motivasi apa yang bisa membangkitkan semangat untuk terus menulis?
Kita coba kilas balik mencermati penulis atau para ulama zaman dulu. Mereka menulis bukan untuk mendapatkan uang. Mereka yakin rezeki Allah yang memberi. Mereka berkarya semata untuk mendidik, mencerahkan ummat dengan pengetahuan yang mereka miliki. Dan itu mereka lakukan semata mengharap ridha Allah. Mereka menulis sebagai wujud tanggung jawab dan pengabdian kepada Allah. Dari sinilah karya-karya monomental terlahir.
Nah, manakala pijakan kita menulis untuk dakwah, menulis untuk ibadah, motivasinya bukan lagi finansial, tapi jauh dari itu yaitu ridha Allah. Dan, tatkala finansial menghampirinya dianggapnya bonus yang diberikan duluan di dunia, masih banyak sisanya di akhirat.
Di samping motivasi ibadah, motivasi manfaat untuk diri juga bisa membangkitkan semangat untuk terus berkarya. Di antara manfaat menulis untuk diri adalah mencegah kepikunan, menghilangkan stres. Yang jelas manfaat yang sangat dirasakan adalah keterampilan menulis akan terus meningkat. Ya, terampil menulis tentu saja dengan terus berlatih menulis. Mana ada orang yang sekali menulis langsung terampil. Makanya proses latihan dan terus latihan adalah proses yang harus kita jalani. Masalah finansial tak terlalu dipikirkan karena itu adalah bonus dari kerja keras kita selama ini.
Haderi Ideris.
Thursday, November 19, 2015
Terampil Menulis, Perlu Motivasi
13. Terampil Menulis, Perlu Motivasi
Rabu, 18 November 2015.
Pukul 09.00 Saya beranggat ke Kemenag HSU. Sepuluh menit sebelum jadwal yang ditentukan, saya harus sampai. Alhamdulillah saya tiba sebagaimana mestinya walau kaki sedikit basah karena hujan yang cukup lebat. Ya walau pakai jas hujan tetap saja terkena tempiasnya.
Masyaallah. Agak gugup juga duduk di hadapan ratusan peserta. Bayangkan, bagaimana tidak grogi? Yang saya hadapi adalah kepala sekolah negeri dan Wakamad Humas; MIN, MTsN, dan MAN. Tambah lagi pegawai Kemenag yang lain. Di situ ada juga perwakilan dari KUA sekabupaten. Untungnya di antara peserta itu ada teman-teman semasa kuliah. Ini yang mengurangi rasa mender saya. Untungnya lagi sejak September saya menjabat kepala MA. Darul Ulum diangkat oleh yayasan. Ya walau swasta dan tidak pegawai negeri, rasanya cukup membantu penampilan saya. Dan, itu saya kemukakan di hadapan peserta.
"Yang saya hadapi para kepala madrasah negeri, tapi yang duduk di hadapan sampeyan ini juga kepala madrasah walau sekolah swasta dan tidak pegawai negeri." Ger peserta pun ketawa.
Kemenangan saya karena menulis buku sehingga bisa berbagi pengalaman menulis dengan peserta. Jika saya tidak menulis, mana mungkin panitia ujug-ujuk menyuruh saya memberi materi. Ya kan? Ini proses.
Inilah kesempatan saya. Dan barangkali seandainya saya menolak tawaran memberikan materi ini, tentu tidak akan datang dua kali. Apa pun kendalanya, saya harus tampil.
Alhamdulillah, ibarat stand up comidy saya bisa membawakan materi yang Mas Eko bilang gernya berantakan.
Karena yang dihadapi adalah mereka yang dari segi keilmuan sudah mumpuni, sudah banyak pengalaman, informasi sudah menumpuk, saya langsung mengeluarkan jurus pemungkas. Saya katakan pada mereka, Sampeyan ini potensi pengalaman dan pengetahuan sudah bejibun. Sampeyan ini bukannya tidak bisa menulis, tetapi belum mau melakukan.
Ya, wajar mereka tidak menulis karena dari motivasi ekonomi mereka sudah mapan. Mendatangkan penghasilan dari menulis tidak mereka lirik lagi.
Namun, manakala menulis menjadi tuntutan. Guru harus mengejar kredit poin minimal membuat laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Atau publikasi karya di media cetak. Karena belum terbiasa menulis, ketika mengawalinya tentu menjadi beban. Walau demikian, asal mau melakukan, saya yakin mereka pasti bisa.
Lain lagi buat mereka yang berpikir pragmatis. Enaknya ambil cara instan. Tinggal sediakan duit PTK-pun jadi. Buat apa repot-repot memikirkan PTK.
Motivasi ekonomi memang tidak termakan lagi buat mereka yang sudah mapan. Namun, ketika menulis sudah menjadi keharusan bagi guru pegawai negeri, motivasi ekonomi masih relevan dikemukakan. Kalau tidak menulis, berakibat pada kepangkatan. Ujungnya-ujungnya kan urusan finansial.
Haderi Ideris.
Rabu, 18 November 2015.
Pukul 09.00 Saya beranggat ke Kemenag HSU. Sepuluh menit sebelum jadwal yang ditentukan, saya harus sampai. Alhamdulillah saya tiba sebagaimana mestinya walau kaki sedikit basah karena hujan yang cukup lebat. Ya walau pakai jas hujan tetap saja terkena tempiasnya.
Masyaallah. Agak gugup juga duduk di hadapan ratusan peserta. Bayangkan, bagaimana tidak grogi? Yang saya hadapi adalah kepala sekolah negeri dan Wakamad Humas; MIN, MTsN, dan MAN. Tambah lagi pegawai Kemenag yang lain. Di situ ada juga perwakilan dari KUA sekabupaten. Untungnya di antara peserta itu ada teman-teman semasa kuliah. Ini yang mengurangi rasa mender saya. Untungnya lagi sejak September saya menjabat kepala MA. Darul Ulum diangkat oleh yayasan. Ya walau swasta dan tidak pegawai negeri, rasanya cukup membantu penampilan saya. Dan, itu saya kemukakan di hadapan peserta.
"Yang saya hadapi para kepala madrasah negeri, tapi yang duduk di hadapan sampeyan ini juga kepala madrasah walau sekolah swasta dan tidak pegawai negeri." Ger peserta pun ketawa.
Kemenangan saya karena menulis buku sehingga bisa berbagi pengalaman menulis dengan peserta. Jika saya tidak menulis, mana mungkin panitia ujug-ujuk menyuruh saya memberi materi. Ya kan? Ini proses.
Inilah kesempatan saya. Dan barangkali seandainya saya menolak tawaran memberikan materi ini, tentu tidak akan datang dua kali. Apa pun kendalanya, saya harus tampil.
Alhamdulillah, ibarat stand up comidy saya bisa membawakan materi yang Mas Eko bilang gernya berantakan.
Karena yang dihadapi adalah mereka yang dari segi keilmuan sudah mumpuni, sudah banyak pengalaman, informasi sudah menumpuk, saya langsung mengeluarkan jurus pemungkas. Saya katakan pada mereka, Sampeyan ini potensi pengalaman dan pengetahuan sudah bejibun. Sampeyan ini bukannya tidak bisa menulis, tetapi belum mau melakukan.
Ya, wajar mereka tidak menulis karena dari motivasi ekonomi mereka sudah mapan. Mendatangkan penghasilan dari menulis tidak mereka lirik lagi.
Namun, manakala menulis menjadi tuntutan. Guru harus mengejar kredit poin minimal membuat laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Atau publikasi karya di media cetak. Karena belum terbiasa menulis, ketika mengawalinya tentu menjadi beban. Walau demikian, asal mau melakukan, saya yakin mereka pasti bisa.
Lain lagi buat mereka yang berpikir pragmatis. Enaknya ambil cara instan. Tinggal sediakan duit PTK-pun jadi. Buat apa repot-repot memikirkan PTK.
Motivasi ekonomi memang tidak termakan lagi buat mereka yang sudah mapan. Namun, ketika menulis sudah menjadi keharusan bagi guru pegawai negeri, motivasi ekonomi masih relevan dikemukakan. Kalau tidak menulis, berakibat pada kepangkatan. Ujungnya-ujungnya kan urusan finansial.
Haderi Ideris.
Monday, October 12, 2015
3. Menulis Kok Tergantung Mood
3. Menulis kok tergantung mood
Mood itu apa sih? Suasana hati. Ya kurang lebih begitu. Maunya kalau menulis nunggu mood. Hati harus tenang. Ya kalau moodnya datang. Kalau ngak datang gimana dong? Berarti ngak nulis dong. Lalu gimana dong?
Terus mau kamu gimana? Maunya sih hati harus tenang, suasana sekitar harus mendukung baru bisa menulis. Repot amat ya?
Menulis tidak tergantung mood. Maksudnya gimana sih? Kalau mood dijadikan alasan untuk menulis, pastinya kamu tidak akan menghasilkan tulisan. Pertanyaan saya, kapan sih kamu betul betul tenang? Ketenangan itu bukan ditungu, tapi diolah sendiri. Ya kalau ingin menulis menulis saja tak perlu menunggu mood. Ciptakan ketenangan sendiri. Bayangkan aja sampeyan berada di tempat yang tenang walau berada ditengah keramaian. Caranya? Ya ngak ada cara lain kecuali dengan menulis. Dilatih bro. Menulis di tengah keramaian tapi suasana hati dibikin fokus menulis apa yang ingin ditulis.
Kalau sampeyan lagi ada masalah dan sampeyan ingin menulis, menulis saja tentang mengapa sampeyan galau. Kalau curhat lewat tulisan, galau berkurang, tulisan tentang galau pun menjadi. Lantas jika sampeyan sudah merasa nyaman cobalah menulis proyek yang sudah direncanakan.
Contoh. Saya nulis tulisan ini sambil rebahan sambil mendengarkan Tv. terus ditemani bunyi kipas angin. Kok bisa nulis sambil rebahan? Wong saya nulis pakai hp, dan cukup dengan satu jari. Kok bisa? Ya bisa lah, karena saya memang melakukan. Ya kalau mau menulis ya menulis saja tak perlu harus tergantung ini itu, apalagi tergantung mood.
Mood itu apa sih? Suasana hati. Ya kurang lebih begitu. Maunya kalau menulis nunggu mood. Hati harus tenang. Ya kalau moodnya datang. Kalau ngak datang gimana dong? Berarti ngak nulis dong. Lalu gimana dong?
Terus mau kamu gimana? Maunya sih hati harus tenang, suasana sekitar harus mendukung baru bisa menulis. Repot amat ya?
Menulis tidak tergantung mood. Maksudnya gimana sih? Kalau mood dijadikan alasan untuk menulis, pastinya kamu tidak akan menghasilkan tulisan. Pertanyaan saya, kapan sih kamu betul betul tenang? Ketenangan itu bukan ditungu, tapi diolah sendiri. Ya kalau ingin menulis menulis saja tak perlu menunggu mood. Ciptakan ketenangan sendiri. Bayangkan aja sampeyan berada di tempat yang tenang walau berada ditengah keramaian. Caranya? Ya ngak ada cara lain kecuali dengan menulis. Dilatih bro. Menulis di tengah keramaian tapi suasana hati dibikin fokus menulis apa yang ingin ditulis.
Kalau sampeyan lagi ada masalah dan sampeyan ingin menulis, menulis saja tentang mengapa sampeyan galau. Kalau curhat lewat tulisan, galau berkurang, tulisan tentang galau pun menjadi. Lantas jika sampeyan sudah merasa nyaman cobalah menulis proyek yang sudah direncanakan.
Contoh. Saya nulis tulisan ini sambil rebahan sambil mendengarkan Tv. terus ditemani bunyi kipas angin. Kok bisa nulis sambil rebahan? Wong saya nulis pakai hp, dan cukup dengan satu jari. Kok bisa? Ya bisa lah, karena saya memang melakukan. Ya kalau mau menulis ya menulis saja tak perlu harus tergantung ini itu, apalagi tergantung mood.
Thursday, September 10, 2015
2. Menulis Kok Pengin Terkenal
Terkenal karena menulis bisa jadi. Nyatanya memang ada orang terkenal lantaran menulis. Seumpama para ulama, atau penulis-penulis novel, mereka dikenal dan terkenal melalui karya mereka.
Namun, ingin terkenal dengan nenulis kurang bagus. Apa pasal? Keinginan semacam itu justru menjadi penghalang Anda dalam berkarya.
Hal itu harus dihindari kalau Anda ingin jadi penulis. Mengapa? Kok bisa jadi penghalang?
Begini, terkenal atau dikenal karena tulisan itu adalah efek sampingnya saja, bukan tujuan yang dipampang di depan. Yang terpenting menulis saja dulu. Boleh jadi ingin terkenal bisa jadi motivasi tambahan untuk terus bersemangat dalam menulis. Yang jadi masalah, ketika Anda baru belajar menulis itu malah menjadi beban. Anda akan berpikir tulisan yang harus Anda hasilkan adalah tulisan yang berkualitas seperti penulis-penulis terkenal itu.
Lantas ketika Anda mulai menulis bukannya tulisan menjadi, malah terhenti di tengah jalan lantaran merasa kualitas yang dihasilkan tidak seperti yang diinginkan. Ah, bagaimana bisa terkenal kalau tulisan saya jelek seperti ini, ini yang terbayang di pikiran Anda. Lantas Anda mengubur impian Anda menjadi penulis.
Di situlah masalahnya, baru ingin belajar menulis sudah mau menyandingkan diri dengan orang yang sudah terkenal. Jauh bro.
Yang mesti Anda lakukan adalah bukan melihat siapa mereka sekarang. Tetapi lihatlah bagaimana mereka sebelumnya? Mereka seperti Anda juga tidak langsung terkenal dan tulisan mereka tidak langsung bagus dan berkualitas tinggi. Mengapa mereka bisa? Karena mereka memang sudah melalui proses yang panjang. Tidak serta merta jadi. Awalnya mereka tentu seperti Anda.
Jadi jaukan dulu beban pikiran ingin terkenal itu yang penting menulis dulu. Mau terkenal atau tidak, tak masalah. Loh, buru-buru terkenal, menulis saja belum Anda lakukan. Anehkan? Oleh karena itu, mari menulis! Anda yakin?
Namun, ingin terkenal dengan nenulis kurang bagus. Apa pasal? Keinginan semacam itu justru menjadi penghalang Anda dalam berkarya.
Hal itu harus dihindari kalau Anda ingin jadi penulis. Mengapa? Kok bisa jadi penghalang?
Begini, terkenal atau dikenal karena tulisan itu adalah efek sampingnya saja, bukan tujuan yang dipampang di depan. Yang terpenting menulis saja dulu. Boleh jadi ingin terkenal bisa jadi motivasi tambahan untuk terus bersemangat dalam menulis. Yang jadi masalah, ketika Anda baru belajar menulis itu malah menjadi beban. Anda akan berpikir tulisan yang harus Anda hasilkan adalah tulisan yang berkualitas seperti penulis-penulis terkenal itu.
Lantas ketika Anda mulai menulis bukannya tulisan menjadi, malah terhenti di tengah jalan lantaran merasa kualitas yang dihasilkan tidak seperti yang diinginkan. Ah, bagaimana bisa terkenal kalau tulisan saya jelek seperti ini, ini yang terbayang di pikiran Anda. Lantas Anda mengubur impian Anda menjadi penulis.
Di situlah masalahnya, baru ingin belajar menulis sudah mau menyandingkan diri dengan orang yang sudah terkenal. Jauh bro.
Yang mesti Anda lakukan adalah bukan melihat siapa mereka sekarang. Tetapi lihatlah bagaimana mereka sebelumnya? Mereka seperti Anda juga tidak langsung terkenal dan tulisan mereka tidak langsung bagus dan berkualitas tinggi. Mengapa mereka bisa? Karena mereka memang sudah melalui proses yang panjang. Tidak serta merta jadi. Awalnya mereka tentu seperti Anda.
Jadi jaukan dulu beban pikiran ingin terkenal itu yang penting menulis dulu. Mau terkenal atau tidak, tak masalah. Loh, buru-buru terkenal, menulis saja belum Anda lakukan. Anehkan? Oleh karena itu, mari menulis! Anda yakin?
1. Menulis Kok Pengin Langsung Bagus
Siapa pun kalau menulis pasti ingin bagus. Keinginan itu memang baik, asalkan tidak jadi dinding penghalang Anda dalam menulis. Namun, kenyataan bicara lain justru ketika keinginan itu ada malah menjadi penghalang yang cukup mengganggu.
Memangnya menulis harus jelek dulu? Tidak juga sih. Maksud saya begini, abaikan saja dulu pikiran mau bagus itu. Tulis saja dulu, baik atau jelek itu bagaimana nanti. Yang penting menulis.
Buktinya mana? Ya, begini, misalnya Anda sudah terpantik semangat ingin menulis, lalu Anda buka laptop, lah, malah bengung sendiri. Masalah apa yang harus ditulis Anda tak tahu. Setelah beberapa lama kebingungan Anda mulai sadar bahwa Anda ingin menulis tentang pendidikan. Mulailah Anda menulis sekata dua kata, sebaris dua baris kalimat. Lalu Anda berpikir bahwa kalimat yang Anda tulis belum bagus, belum baik, belum benar. Apa yang Anda lakukan? Tangan Anda secepatnya menghapus. Seperti itu kan yang sering Anda lalukan? Pertanyaanya, bisa selesai tulisaannya? Jawaban Anda, engak Pak.
Lalu? Mestinya buang dulu pikiran langsung bagus tadi. Biarkan saja tulisan Anda mengalir seperti air, yang penting Anda berhasil menyelesaikan sebuah tulisan. Kalau hasilnya jelek? Ya, itulah tulisan Anda yang jelek, hehehe. Memangnya tulisan jelek itu salah? Tidak ada yang salah bro. Yang salah itu tulisan jelek langsung Anda kirim ke media berharap diterbitkan.
Nah, tulisan jelek tadi sudah menunjukkan bahwa Anda mampu mengeluarkan gagasan Anda dalam bentuk tulisan, walau masih jelek, tidak masalah. Itu tidak aneh. Wajar saja kok, pertama belajar menulis memang seperti itu. Yang sudah terbiasa menulis pun bisa saja jelek.
Kalau begitu Pak, apakah kita biarkan saja tulisan jelek tadi? Ada dua pilihan yang bisa Anda lakukan. Pertama, lakukan pengeditan sehingga tulisan jelek tadi menjadi tulisan yang bagus, baik dari tata bahasanya maupun pilihan katanya. Yang kedua, Anda coba lagi menulis tulisan yang baru, topik baru. Kalau tulisannya jelek lagi, Pak? Aduh...berarti nasib Anda memang jelek. Hehehe. Tidak, tidak begitu dong. Kalau terus menulis, saya yakin tulisan yang awalnya jelek akan berangsur membaik. Anda yakin?
Friday, June 5, 2015
Cara Menanam Padi di Enceng Gondok
Ada dua karakter sawah di daerah
Amuntai, khususnya Panangkalaan, ada daerah atas atau sawah yang datarannya
agak tinggi, airnya cepat surut. Ada
daerah bawah, yang airnya lambat surutnya. Biasanya daerah atas ini yang
harus digarap lebih dahulu. Baru daerah bawah yang digarap.
Apa pun
karakter sawahnya, enceng gondok, kayapu dapat dimanfaatkan, tanpa harus
disingkirkan. Setelah melakukan penyemprotan, diamkan dulu sampai lapuk, mati.
Diamkan selama satu minggu atau lebih untuk
menghilangkan pengaruh bahan kimia tadi baru bibit bisa kita tanam. Kalau tidak
ingin menggunakan bahan kimia, kita bisa membabat bagian atasnya saja dengan
golok atau mesin rumput.
Lalu cara
tanamnya bagaimana?
Cara
menanam cukup sederhana. Jika airnya masih dalam, bibit padi kita tancapkan
saja di sela-sela enceng gondok tadi sampai melewati akarnya, biarkan bibit
terapung bersama enceng gondok tanpa harus menancapkannya ke tanah. Selama dua
sampai empat hari biasanya padi mengalami perubahan agak kekuningan karena masih
tahap penyesuaian diri. Jika sudah
memasuki umur satu minggu, padi mulai menghijau kembali. Akar padi sudah mulai
berkembang ke samping menyatu dengan enceng gondok tadi. Nah, jika terjadi
banjir, padi tidak akan tenggelam karena ikut terangkat, terapung bersama
enceng gondok. Dan, jika tidak terjadi banjir, airnya mulai surut, padi pun
ikut ke bawah, dan akhirnya menancap ke tanah.
Adapun,
jika airnya sudah kering, kita bisa bertanam langsung ke tanah. Namun,
resekonya, jika banjir, padi akan terendam dan tertindih enceng gondok. Ini
yang sering dikhawatirkan petani, karenanya, mereka segan memanfaatkan enceng
gondok. Padahal solusinya sama saja dengan cara tanam pada sawah yang masih ada
airnya, jangan ditancapkan langsung ke tanah, cukup di atas enceng gondoknya. Ketika
air datang, enceng gondok akan terapung karena ia memiliki rongga udara.
Nah,
itu cara tanam padi di enceng gondok pada sawah yang airnya bisa surut dan
kering. Bagaimana dengan sawah yang airnya tidak bisa surut dan kering, atau mungkin sungai yang penuh dengan enceng
gondok? Caranya sama saja, justru ini yang dimaksudkan dengan sawah apung
dengan memanfaatkan sumber alam yang ada.
Bahkan,
enceng gondok ini bisa kita manfaatkan untuk lahan menyemai bibit. Caranya
dengan membabat bagian atasnya, kalau tidak, cukup kita membalikkan enceng
gondok, sehingga akarnya berada di atas. Kita atur sedemikian rupa, lalu kita tabur
lumpur di atasnya. Padi pun siap kita semai.
Untuk
hasil maksimal, kita harus memperhatikan jarak tanam. Mengapa? Jika jarak tanam
terlalu dekat, memudahkan mangsa tikus bersembunyi, dan,
perkembangan padi agak lambat karena zat makanannya terbagi, dan tidak
tercukupi. Dan, setiap satu meter kita beri jarak lebih lebar lagi, untuk
memudahkan pemeliharaan.
Thursday, June 4, 2015
Pemanfaatan Enceng Gondok, kayapu dan Ganggang untuk Lahan Pertanian
Selama
ini kita beranggapan bertani itu sawahnya harus bersih dari rumput. Makanya,
ketika enceng gondok, kayapu, ganggang memenuhi persawahan, kita beranggapan
bahwa biaya dan tenaga akan banyak terkuras untuk menyingkirkannya. Padahal,
enceng gondok, kayapu tadi bisa dimanfaatkan, tanpa harus dibuang.
Ada beberapa manfaat yang bisa
saya kemukakan di sini, yaitu:
1.
Bisa dijadikan media tanam
untuk sawah apung.
2.
Karena dimanfaatkan,
otomatis mengurangi biaya dan tenaga.
3.
Kalau sawahnya kering, jadi pelindung tanah agar tidak kering dan
lekang, sekaligus jadi pupuk.
4.
Karena dijadikan sawah
apung, otomatis sebagai antisipasi banjir.
Wednesday, June 3, 2015
CARA MEMBUAT SAWAH TERAPUNG
Kalau pasar terapung bagi masyarakat Kalimantan sudah tidak
asing lagi. Namun, istilah sawah terapung mungkin masih asing di telinga kita. Sawah terapung dibuat sebagai solusi sering terjadinya banjir. Mau banjir atau tidak, bagi petani tidak jadi
masalah lagi. Mereka tetap bisa bertani.
Kalau
di daerah kita, khusunya di Amuntai belum ada yang memperkenalkan, walaupun
ada, hanya terbatas. Sebagaimana sudah dilakukan ibu saya di Garunggang dengan
memanfaatkan elong atau enceng gondok. Ibu saya menyebutnya dengan istilah menanam
padi di atas ilung.
Adapun
alat yang dipakai untuk membuat sawah terapung ini ada beberapa alternatif yang
bisa dipilih, di antaranya, bahan apungnya bisa menggunakan bambu untuk siring
tepi. Bambu dipotong sesuai ukuran yang diinginkan, misalnya untuk ukuran 2 m
x 3 m, dan untuk lahan tengahnya
digunakan sabut kelapa, jerami dan tanah. Ini cara yang digunakan para petani
di Jawa. Ini cukup repot.
Namun,
kalau kita di Amuntai, bahan alam sudah tersedia. Yaitu dengan menggunakan
berkah alam enceng gondok yang selama ini dianggap bala yang harus dibuang. Cukup menggunakan tonggak kayu dan tali yang
dibentang agar enceng gondok tidak bergeser. Atau, kalau sawahnya sudah
berpetak-petak lebih bagus lagi walau tanpa tali, enceng gondoknya sudah
terkurung. Kecuali untuk mengantisipasi banjir bisa kita gunakan tali dan
tonggak kayu tadi supaya tidak hanyut di bawa arus air. Sederhana sekali kan?
Enceng
gondok yang bagus adalah enceng gondok yang tebal. Kalau selama ini petani
kewalahan membuang enceng gondok dari lahan persawahannya, sekarang jangan
dibuang. Cukup dikendalikan dengan menyemprot dengan bahan kimia khusus. Sampai
daunnya lapuk dan mati, diamkan beberpa
hari untuk menghilangkan pengaruh bahan kimia, setelah itu baru bibit siap
tanam di atas enceng gondok tersebut.
Cara Mengolah Bibit Padi
Memilih Bibit
Ada berbagai bibit padi yang bisa kita pakai sesuai dengan
kebiasaan yang ditanam. Untuk kondisi sawah tadah hujan kita harus memilih
bibit yang ringan, dalam arti cepat berbuah dalam waktu yang relatif singkat.
Kalau berat, lambat berbuahnya, dikhawatirkan keburu datang banjir.
Mengolah Bibit
Bulir padi siap
diolah dengan cara direndam. Sediakan tempat penampung bibit, ember atau
sejenisnya. Tuangkan padi ke ember tersebut dan isi air secukupnya. Atau bisa juga dengan cara dimasukkan ke
karung, ikat ujungnya agar tidak tumpah, lalu dicemplungkan ke sesungai. Tapi,
ingat harus diikat ke tongkak kayu agar tidak terbawa arus, hehehe. Biarkan
selama 24 jam, atau sesuai dengan
pengalaman yang sudah ada, tergantung bibit yang digunakan, kalau bibit baru
panen cukup 24 jam, kalau bibit lama yang tersimpan setahun atau lebih,
merendamnya bisa sampai dua hari.
Setelah 24 jam bibit dibangkit dan ditiriskan. Bibit siap dipadat.
Alat yang digunakan adalah karung bekas semen, cukup 3 lembar. Satu untuk hamparan,
dua lembar untuk tutupannya. Alat lain bisa digunakan adalah daun pisang. Bibit
sisakan sedikit, masukkan ke cangkir untuk mengetahui perkambangan tumbuh
tidaknya bibit. Jika tumbuh, sudah menghasilkan
kecambah, berarti bibit yang di dalam pengolahan bibit itu juga sudah
tumbuh.
Menyemai (mangutung)
Setelah bibit
berkecambah, tahapan yang harus kita lakukan adalah mengurai bibit yang
kusut agar mudah ditabur ke tempat persemaian.
Untuk persemaian kita sediakan dulu lahannya. Bersihkan
lahan yang akan kita gunakan untuk menyemai. Taburkan bulanak, (lumpur)
ke lahan yang sudah kita siapkan yang ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan.
Setelah siap, taburkan bibit secara merata, tidak terlalu tebal dan tidak
terlalu jarang. Kemudian bibit tadi dipukul-pukul dengan sapu lidi atau lainnya
supaya bibit tenggelam ke lumpur tadi. Setelah rata tutu dengan dengan karung
semen, atau daun pisang.
Bila sudah tumbuh sekitar 3 sampai 5 jari, bukalah tutup
penyemaian tadi, jika sudah tingginya sekitar sejengkal, bibit siap dipindah ke
tempat lambakan.
Pembesaran Bibit (Melambak)
Bibit sudah siap untuk dibesarkan. Sediakan lahan yang cukup
yang airnya sudah surut untuk bisa menampung bibit yang tingginya sejengkal
tadi. Bibit padi di persemaian kita susuk menggunakan parang, golok, susuk bibit
seluas setapak tangan. Letakkan bibit di tempat pembesaran tadi dengan jarak 30
cm atau sesuai keperluan. Bila bibit sudah besar dan tingginya mencapai 60 cm
atau dua jengkal lebih, bibit sudah bisa ditanam di lahan persawahan biasa atau
di sawah terapung.
Subscribe to:
Posts (Atom)