Thursday, December 13, 2012

Cerpen, RAHASIAKAN JATI DIRIKU




             Tetesan embun masih membasahi rerumputan  di kiri - kanan jalan yang aku lalui,  burung  jalak, perkutut, melantunkan lagu kedamaian, mengiringi  hembusan angin perlahan.
 Ah…sudah lama aku tidak melewati jalan ini, begitu sepi, beda dari lima tahun sebelumnya,  biasanya jam segini sudah  ramai dilalui orang.
Sepuluh meter dari tempatku berdiri, ada bangku panjang yang tertancap kokoh di bawah rindang dedaunan.   Aku coba istirahat di bangku itu.
            Tidak jauh dari tempat dudukku ada seseorang yang duduk membelakangiku, kepalanya menunduk, aku dengar sayup-sayup isak tangis, sementara derai  daun pohon yang ditiup angin menambah suasana  pilu.
            Aku membatin, kejadian apa yang menimpa dirinya, sehingga dia bermuram durja seperti itu,  kehilangan anak, atau ditinggal mati suaminya barangkali, atau kematian anak yang dia sanyangi atau ditinggal sang kekasih, atau, atau, atau. Aah… ngapain aku tanya dalam hati, lebih baik aku hampiri saja dia.
            “Maaf  Nak, apa gerangan yang membuatmu bersedih?”
 Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. “Dimana rumah mu biar bapak antar pulang. Tidak baik seorang gadis sendirian di sini, berbahaya!”
 Berbagai pertanyaan yang aku lontarkan, tidak satupun ia jawab, hanya tangis sebagai jawabannya.
            Karena masih penasaran, keesokan harinya, aku lewat di jalan itu lagi, ternyata gadis itu masih ada di tempatnya seperti kemaren, aku bertanya dalam hati, apakah dia tidak pulang?, atau dia pagi- pagi sudah berangkat dari rumah dan duduk-duduk di tampat ini, melepaskan kesedihannya. 
            Nak.., setiap ada malam, pasti ada siang, tidak selamanya gelap. setiap kesusahan pasti ada kemudahan, tidak ada permasalahan yang tidak mungkin diselesaikan,  kalau kita mau berbagi dengan orang lain, coba ceritakan apa masalah yang kau hadapi, dengan begitu, dapat mengurangi beban penderitaanmu.
            Ia mengangkat wajahnya, menatapku. Mulutnya bergetar, kata-katanya terbata: “ A,a,aku”, ia terisak.
 “Tidak ada seorang pun yang dapat meringankan penderitaanku, tidak ada seorang pun yang dapat menonolongku, bahkan semua orang di kampung ini mencela, menghinaku. Mereka tidak salah kalau mereka menghina dan  mencelaku karena memang aku pantas dihina dan dicela. Aku sangat menyesal, penyesalan yang tak ada ujungnya”.
            “Memangnya apa yang terjadi?”
            “Berat, sangat berat, dosa yang aku perbuat sangat besar, mungkin sudah memenuhi langit dan bumi”. Ia menunup wajahnya dengan kedua tangannya, ia senggugukkan.
“Dosaku tak terampuni, aku sudah menjadi seorang pembunuh” Ia semakin terisak, “aku sudah membunuh darah dagingku sendiri”.
            “MasyaAllah, Innalillah” sentakku
            “Dosa di atas dosa Pak, aku hamil di luar nikah, orang yang menghamiliku tidak mau bertanggung jawab, aku menanggung malu, aku putus asa, akal sehatku tidak jalan lagi sampai akhirnya, aku nekat bunuh diri dengan memotong urat nadi tanganku, namun aku masih tertolong, sampai akhirnya aku melahirkan, aku menyesal dan malu, punya anak tanpa ayah, aku tidak berpikir panjang, anak yang baru aku lahirkan yang tak tahu apa-apa, tidak berdosa,  aku buang ke sungai”. Tangisannya makin memilukan.
            “Tidak ada orang yang tidak pernah berbuat dosa Nak, Karena kita adalah tempat salah dan hilap. Sebesar apapun dosa yang kita perbuat, sungguh rahmat dan ampunan Allah sangat besar dan luas melebihi dosa yang kita perbuat. Penyesalan yang kau tunjukkan adalah bukti penyadaran terhadap kesalahan. Selama kita mau bertobat dengan sungguh. Allah akan menerima tobat dan mengampuni kita”
            “Benarkah?, aku bisa terampuni”
            “Asal kita mau bertekad untuk memperbaiki diri, aku yakin Allah akan mengampunimu, mohon ampun dan bertobatlah, kembalilah kepada Allah.           
                        ****
            Semenjak pertemuan itu aku tidak pernah melihatnya lagi duduk di tempat itu.  Dua bulan berselang, aku bertemu dengannya di tempat yang berbeda, di pasar,  aku melihat perempuan itu  penampilannya tidak lagi seperti orang kebanyakan, ia berpenampilan seperti orang  abnormal.
Apa yang terjadi?
****
“Aku memang sudah berubah, Pak. Aku coba memperbaiki diri. Dan inilah hasilnya, sebagaimana yang Bapak lihat”.
“Ya, aku mengerti kamu memang sudah berubah, tapi mengapa harus seperti ini?”
 Begini, waktu itu tepat jam dua dinihari, seperti biasa aku melaksanakan shalat tahajjud, sebagaimana yang Bapak anjurkan, setelah shalat aku mohon ampun kepada Allah, aku ucapkan astaghfirullah dengan penuh penyesalan, aku menangis mengingat dosa-dosa yang pernah aku lakukan. Tiba-tiba, tubuhku seperti melayang, berputar  masuk sebuah lorong yang gelap,  bau anyir darah dan bangkai menyeruak masuk  penciumanku, perutku mulai mual, bergolak dan akhirnya menguras seisi perutku.
Tubuhku berhenti berputar,  ternyata tubuhku semakin ringan, aku melayang seperti kapas, terus melayang sehingga aku tiba di ujung lorong.
Aku melihat secercah cahaya, dari kejauhan, kecil seperti bola, tapi  cukup untuk menerangi sekitarnya, cahaya itu  menuju ke arahku, semakin dekat, cahaya itu semakin membesar, membesar dan membesar, sampai akhirnya pecah di hadapanku, membentuk tujuh buah bola cahaya.
Satu persatu bola cahaya bergerak ke arahku. Bola cahaya pertama masuk  dan bersemayam di kepalaku, terasa dingin, bola cahaya kedua bersemayam di dua tanganku, bola cahaya ketiga merasuk  pada kedua kakiku,  yang keempat bersemayam di perutku, bola kelima meresap di kedua mataku, bola keenam mengendap di kedua telingaku. Tubuhku semakin menggigil. Tiba pada bola yang terakhir.  Ia bergerak surut ke belakang dan berputar, aku mengira ia akan meninggalkanku, ternyata ia hanya mengambil ancang-ancang untuk melakukan serangan.
Di luar dugaanku, ternyata benturan keras bola itu mengilangkan rasa dingin di tubuhku. Namun, dadaku terasa remuk.
Aku berusaha bangkit. Aku terus berusaha, sampai akhirnya aku berhasil berdiri. Ketika aku berhasil tegak dengan kedua kaki yang belum seimbang, bola itu menghantam dadaku lagi, akhirnya aku tersungkur lagi.
Aku merasakan nyeri yang teramat sangat. Aku pasrah. Tidak ada kekuatan lagi yang bisa aku kerahkan untuk berdiri, disaat aku tersungkur  dan merasa tidak berdaya,  tidak  ada lagi kemampuan yang bisa aku upayakan, bola cahaya berhenti menyerangku.
Perlahan namun pasti, cahaya itu mulai bergerak lagi ke arahku, Saat-saat yang mendebarkan, mungkinkah  ajalku akan tiba?  Cahaya itu terus bergerak. Ketika cahaya itu sampai persis di hadapanku, ia  berhenti, kemudia berputar mengelilingiku sebanyak tujuh putaran, kemudian kembali ke hadapanku.
Jantungku berdetak kencang, nafasku memburu, aku  pasrah dengan kemungkinan yang terburuk yang akan menimpaku.
Tiba-tiba bola cahaya itu berputar  sangat cepat sehingga menimbulkan bunyi yang sangat memekakkan telingaku. Aku tidak sanggup menutup  kedua telingaku, karena aku sudah tidak berdaya. Tangan dan kakiku tidak sanggup aku gerakkan, cahaya itu terus berputar di porosnya sampai mengepulkan asap yang tebal sehingga asap itu menyelimuti tubuhku dan   menutupi  pandanganku.
Perlahan asap mulai menipis, bunyi bising mulai berkurang. Perlahan  asap tadi berubah menjadi cahaya dan membentuk sesosok tubuh. Alangkah terkejutnya aku, sesosok  tubuh itu  ternyata diriku sendiri. Allahuakbar… subhanallah..., masyaallah.
Aku terus menyungkur dan merasakan ketiadaan.     Ketika aku memandang langit, wajahku ada disitu. Ketika memandang bulan dan bintang yang indah ternyata wajahku juga ada di situ. Dalam jilatan api yang menyala,   di setiap tangisan bayi, disetiap tawa, canda dan kesedihan, siang dan malam,  di setiap warna, di setiap sudut, ruang dan waktu.  Allahuakbar…..
            Aku merasakan kesejukan, kedamaian abadi. Namun, setelah aku kembali pada puncak kesadaran. Akal dan jiwaku memaksaku untuk menyembunyikan jati diriku yang sebenarnya. Aku diperintahkan menjadi manusia abnormal, agar senantiasa merasakan  kelemahan, rasa hina, dan selalu berhajat kepada Sang Pencipta jagat raya.  Begitulah Pak, hanya Bapak yang tahu ceritaku ini, Tolong rahasikan jati diriku.

Kiat Menulis, Tulis Saja, Jangan Takut Salah


Kiat Menulis, Tulis Saja, Jangan Takut Salah
Haderi Ideris
                Aktivitas menulis, menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan  bagi sebagian orang dianggap sulit, apalagi menulis cerpen. Katanya kalau menulis  cuma cumut sana, kutip sini, tanggapi sedikit, diulas menurut pendapat sendiri, jadi deh tulisan. Kalau seperti  itu katanya tidak terlalu mengagumkan. Katanya lagi beda dengan cerpen, yang masuk pada ranah fiktif, harus memerlukan daya khayal yang tinggi. Nah, imajinasi ini  yang menurut sebagian orang dianggap sulit. Ketika orang tersebut bisa membuat karya fiksi seperti cerpen, novel,  katanya sungguh mengagumkan. Benarkah?

                Barangkali  ada benarnya juga, namun, bagi saya aktivitas menulis apa pun, fiksi  maupun non-fiksi  sama-sama mengagumkan. Pasalnya, kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk, masih secuil  orang yang mau dan mampu menulis. Padahal ketika ditanya, apakah Anda ingin bisa menulis?  Dari lubuk hati, kita akan menjawab, tentu saja ingin. Namun, disayangkan masih sebatas ingin. Akhirnya, keinginan itu terkubur  bersama mimpi,  tak mungkin terwujud dalam kenyataan. Berbeda dengan mereka yang melakukan, menulis, lalu menulis lagi, dan terus menulis. Hasilnya nyata, berupa tulisan.

                Bagi yang ingin menulis, tulis saja, jangan takut salah, jangan takut dikritik, jangan takut dicemooh. Namanya juga belajar, orang yang belajar wajar saja salah. Salah bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diperbaiki.  Kalau menulis mamatok harga mati harus langsung bagus, saya yakin justru hal itu akan membelenggu diri sendiri, sedikit-sedikit salah, kalau tahu salah, dicoret, sedikit-sedikit kita menganggap tulisan kita tidak bagus, akhirnya malu mempublikasikan. Kalau anggapan seperti ini yang kita pelihara,  bisa dipastikan satu tulisan pun tidak akan pernah selesai.

                Solusinya, tulis saja dulu,  masalah bagus tidaknya, itu perkara nanti, yang penting  dalam pikiran kita tulisan  itu harus selesai.  Dalam proses belajar, terus saja menulis, karena sejelek-jelek tulisan,  sehancur-hancur tulisan, pasti  ada saja kandungan manfaatnya, paling tidak, kita sudah menghasilkan tulisan walau masih jelek. Ya toh?

                Perlu diingat kalau tulisan sudah kita anggap selesai, jangan malu mempublikasikan. Karena sejelek apapun tulisan kita, pasti ada yang suka. Dan sebagus apa pun tulisan yang dihasilkan, pasti ada juga orang yang tidak suka. Jadi, bagi yang berkeinginan kuat mewujudkan mimpinya jadi penulis, fokuskan diri  untuk terus menulis, jangan hiraukan gangguan kiri-kanan kita. Dan publikasikanlah.

                Sekarang,  mempublikasikan tulisan sangat mudah. Posting di fesbuk, tulisan kita pun akan nampang, dan bisa dibaca banyak orang. Jangan takut tidak dibaca, yang penting  berani mempublis tulisan. Masalah dibaca atau tidak dibaca orang, jangan dipersoalkan.  Kalau dikritik, dan kritikannya membangun, terima. Kalau mencemooh, anggap saja  itu sebagai pelecut diri  untuk membuktikan pada mereka, kita berani menulis dan mempublis tulisan. Jangan patah arang, jadikan cemooh itu pendorong  untuk lebih giat melatih diri, tunjukan pada mereka yang mecemooh, bahwa kita tak ambil pusing dengan mereka, dan kita terus maju, melangkah menggapai impian kita untuk memfasihkan menulis.

                 Pancangkan dalam pikiran kita bahwa kita belajar. Ingatlah bahwa menulis itu melalui proses, dan sadarilah bahwa penulis terkenal pun sama seperti kita, ketika mereka memulai menulis, mereka juga jatuh bangun, mereka juga tidak serta merta fasih menulis. Mereka fasih menulis karena memang terus melakukan, melatih diri dengan terus menulis.
               
                Kalau kita sudah paham dan yakin dengan apa yang dikemukakan di atas, tunggu apa lagi, menulislah. Kalau mau menulis cerpen, tinggal tulis,  selesai, dan publis. Mudahkan?

                Hahaha,   ada yang menyoal, ternyata mudah menulis itu hanya  pada ranah wacana. Ketika  mau menulis, dan bersiap menulis, huuuh, sulitnya minta ampun. Jangankan menyelesaikan satu cerpen, satu paragraf saja  tidak bisa kelar.  Kalau ini masalahnya, berarti kita belum paham apa yang dimaksudkan pada ujaran sebelumnya. Berarti  kita masih terbelunggu, oleh keinginan bahwa menulis harus langsung bagus. Oleh karena itu,  jangan pikir langsung bagus dulu. Bebaskan pikiran kita dari hal demikian. Pikirkanlah bahwa kita  harus menghasilkan tulisan. Kalau kita berpikir ingin menulis cerpen, tulis saja, dan fokuslah pada selesainya tulisan, bukan pada hasil bagus tidaknya tulisan.

                Untuk memudahkan menulis,   menulislah seperti kita bercerita, berbicara pada teman akrab secara lisan.  Coba ingat  berapa banyak kata dan kalimat yang keluar dari lisan kita  ketika berbicara  sama teman, istri, atau anak-anak, sepertinya tidak ada masalah, lancar-lancar saja. Begitulah menulis, anggap saja ketika kita menulis kita bercerita pada teman akrab kita. Fokus dan  libatkanlah emosi, perasaan kita, masuklah pada cerita, kalau cerita sedih, dan kalau perlu menangis menangislah ketika kita menulis.

                Seperti itulah  pengalaman saya, ketika membuat cerpen pertama saya di tahun 2008 dengan judul Kujaga Rahasimu.  Saya menulis sambil menangis, karena saya menjiwai cerita, seolah merasakan sakit hatinya sang tokoh. Begitu pula dengan cerpen saya Pilihan Terindah, yang dimuat dalam buku ini, yang sebelumnya pernah di publis di Majalah Cahaya Nabawy edisi Maret 2012.

                Untuk memulai menulis, kita perlu pemicu untuk melecutkankannya dalam bentuk tulisan. Bahasa sederhanya, menulis cerpen bisa kita mulai dengan menggali ide cerita, tema cerita yang akan kita angkat. Untuk menemukannya banyak cara yang bisa kita lakukan, bisa dari pengalaman pribadi, bisa juga dari pengalaman orang lain, atau kita bisa menemukan ide itu dari bahan bacaan.

                Saya ambil contoh cerpen saya Pilihan Terindah, ide cerita ini saya ambil dari pengalaman teman saya   yang sudah lama menikah, namun belum dikaruniai  anak. Berarti tema umunya, tema sentralnya adalah mengangkat masalah rumah tangga, lalu dipersempit lagi pada masalah rumah tangga yang ingin mendapatkan keturunan. Dari situ saya kembangkan  ceritanya, masalah alurnya mengalir sendirilah, mau kemana terserah saja dulu, konfliknya  juga muncul seiring daya khayal kita, berkalaborasi dengan  pengetahuan yang kita miliki. Kalau sudah selesai, baru saya edit lagi, jadi deh cerpen.
               
                Nah, sudah jelaskan. tunggu apa lagi, menulislah. Kalau sudah menulis, dan hasilnya tulisan. Tentu ada  banyak hal yang bisa kita pelajari kembali dari hasil tulisan kita. Oh ini salah, ini kurang bagus, seharusnya begini. Kalau kita belum bisa menemukan di mana salahnya, di mana jeleknya, jangan takut minta masukan orang lain. Kalau belum menulis, apanya yang diperbaiki, apanya yang dimintai masukan dan kritikan? Oleh karena itu, menulis dululah.

                Semoga  secuil pengalaman ini bisa bermanfaat bagi pembaca, amin. wallahua`lam.

               
               

Wednesday, June 27, 2012


1.1 Belajar dari Kesalahan.
           
            Kesalahan bagi kita yang baru belajar adalah hal yang biasa. Dari kesalahan itulah kita belajar, justeru dengan kesalahan kita akan jadi tahu mana yang benar, sehingga kita akan selamanya ingat bahwa hal seperti itu salah dan kita jadi tahu dan kita berhati-hati agar tidak mengulangi kesalahan yang ada.

            Belajar menulis, mengetik naskah lalu menyimpan dengan menggunakan save as lalu saya simpan ke file yang terdahulu, lalu ada tampilan replace existing file,  saya klik  ok, setelah saya tutup, dan  ketika dibuka lagi yang ada hanya tulisan yang baru dan tulisan yang lama sudah hilang. Padahal yang dikehendaki mau menambahkan tulisan, ih malah hilang. Saya akui ini kebodohan saya, tapi dari kebodohan ini saya         
jadi tahu, dan berhati-hati agar tidak terulang lagi. Hehe.

            Untungnya, semua tulisan yang terdahulu diposting di facebook  komonitas Bersama Tarekat Tijani, alhamdulillah bisa dikopi lagi. Terimakasih facebook. Kalau tidak ada kamu  entah bagaimana jadinya.
            Mengingat pengalaman sebelumnya rusaknya komputer, tanpa bisa diperbaiki lagi, sehingga semua tulisan tak mungkin bisa dilihat lagi. Untungnya masih sempat diprin. Hal ini  mengingatkan saya untuk selalu memusting tulisan saya ke facebook, ternyata ada benarnya. Pas tulisan hilang kita dengan mudah mencarinya di file catatan fb atau di dokumen komonitas yang kita bangun. Alhamdulillah.

            Pengalaman memang berharga, Belajar memang harus mencoba, dan tak takut salah, tak takut ditertawakan. Mungkin anda yang membaca tulisan ini, mengakak sendiri, betapa bodohnya saya. Tapi, saya tidak malu dan tak takut ditertawaan, bahkan dibilang bodoh sekalipun. Saya menulis pengalaman ini karena saya belajar menulis, sekaligus bereksperimin, karena memang saya belajar komputer  pertamanya hanya diajari membuka dan mematikan komputer saja oleh teman saya, selebihnya hanya belajar dengan keberanian saja klik sana  dan klik situ.

            Belajar memang tak perlu malu. Misalnya kalau  sudah tua belum bisa membaca Al Qur`an, lalu  malu belajar  lantaran usia tua,  mana mungkin bisa membaca Al Qur`an. Begitu juga belajar menulis, ataupun belajar hal-hal lainnya. Jangan ada alasan apapun, apakah alasan karena tua, alasan karena tidak ada waktu, dan alasan-alasan lain yang
hanya menghambat kita dalam belajar. Begitu pula  belajar menulis, kita harus bisa mengikis alasan pembenaran untuk  tidak menulis. Enyahkanlah rasa malu dan  alasan untuk raih kesuksesan.

            Belajarlah dari kesalahan!  Kesalahan karena mencoba adalah lebih baik ketimbang tidak pernah salah karena belum pernah mencoba. Dan kegagalan yang terbanyak adalah dikarenakan ketakutan  pada kegagalan yang pertama, lalu tidak pernah mencobanya sekali lagi. Yang sering kita tatap adalah pintu yang sempit karena kegagalan itu, padahal masih banyak pintu lain yang terkembang lebar, dan di sanalah kesuksesan itu berada.

            Yakinlah kalau kran yang satu mampet, masih banyak kran-kran lain yang bisa terbuka dan bisa mengalirkan air untuk kita. Yang terpenting adalah mencoba, dan mencoba, sampai akhirnya kita menemukannya. Sungguh pengalaman mencoba itulah yang akan menjadi guru terbaik buat diri kita sendiri. Begitu juga dengan menulis cerpen.  Dan yakinlah semua itu bukanlah suatu kesia-siaan.

Tuesday, June 26, 2012

Menulis, Membangkitkan Kesadaran Diri*




            Aktivitas menulis oleh sebagian orang  dikatakan sesuatu yang sulit. Lebih-lebih bagi mereka yang dasar keilmuannya  bukan kebahasaan. Menulis artikel, menulis cerpen, menulis novel sulit? Benarkah sesulit yang kita bayangkan?

            Ah, tidak juga tuh. Buktinya,sangat banyak penulis yang tidak berlatar belakang dasar keilmuan kebahasaan mampu menulis dengan baik. Mengapa? Karena memang mereka berlatih dan mau melakukannya.  Karena bahasa itu lakuan dari hasil latihan, karena tulisan tidak lepas dari bahasa, tentu saja menulis pun perlu latihan.

            Terkadang ada saja kendala menulis yang kita hadapi. soal waktu, soal kesibukan, soal tidak ada bakatlah. Padahal semua itu cuma alasan sebagai pembenar untuk tidak menulis.

            Soal waktu bisa dicari, soal kesibukan bisa disiasati, soal tidak ada bakat bisa digali. Sebenarnya tidak ada alasan sebagai pembenar tidak menulis bagi yang memang benar-benar  kepengin jadi penulis dan mau mencoba.

            Bagi yang berkeinginan jadi penulis, pokoknya tidak ada alasan pembenar dalam benaknya. Orang yang benar – benar berkeinginan menulis pasti bisa menjadikan tantangan dan kendala yang ia hadapi menjadi sebuah peluang. Terkecuali memang orang yang tidak mau. Raja alasan dan permaisuri berdalih tidak akan menghasilkan tulisan.

            Menulis bak berbicara saja. Tidak perlu repot memikirkan apa yang harus ditulis. Kalau terbesit di hati keinginan menulis tentang ini itu, ya lakukan saja dan tulis. Pastinya hasilnya tulisan, menulis bukan hanya sekadar ingin memang. Menulis ya melakukan, menulis  ya menulis.

            Lalu kalau menulis saja, tanpa memperhatikan kaidah penulisan. Apa tidak takut dicemooh, tidak takut dimaki. Walah belajar menulis kok takut. Kalau takut mati saja sekalian. Kalau dicemooh biarin aja, wong orang baru belajar menulis, siapa juga ngaku-ngku penulis hebat, kalau kenyataannya ketika kita belajar menulis memang pantas dicemooh dan dimaki, ya terima aja dengan senyum. Ambil saja pelajaran dari cemoohan dan caci maki orang itu, dan terus saja menulis, ibarat orang yang baru belajar berjalan mau dibandingkan dengan atlet  pelari cepat, tak masuk di nalar, ya, kan? Yang bisa dinalar itu kalau belajar menulis ya dengan menulis, kalau mau belajar berjalan ya dengan berjalan, gitu aja repot.

            Jangan heran kalau orang yang memosisikan dirinya sebagai orang yang belajar akan bisa melejitkan dirinya melebihi orang yang senangnya mecela orang lain. Dan ia pun tetap mengaku posisi dirinya sebagai orang yang belajar, walau sebenarnya sudah ahli. Karena apa? Karena menurutnya  sehebat apa pun dirinya, tidak lepas dari kesalahan, pastinya ada saja kekurangannya, sungguh penyadaran bahwa  hanya hak Allahlah kesempurnaan itu. Tatkala ia sudah diberikan kemampuan dan keterampilan, ia pun mengembalikan hak kesempurnaan itu kepada pemilik hakiki  karena ia sadar bahwa keterampilan dan kemampuan yang milikinya adalah karunia dari Allah semata, bukan lantaran jerih payah, usaha keras yang ia lakukan.

            Benar memang, Allah tidak akan mengubah nasip suatu kaum kalau tidak manusia itu sendiri mengubahnya. Lalu apakah usaha keras yang selama ini kita lakukan dengan jalan terus berlatih, terus menulis  sudah lepas dari campur tangan pertolonganNya? Tidaklah demikian. Penyadaran akan pertolongan dan karunia-Nyalah sebagai pengendali dari kesombongan, sehingga kita tidak terjebak seperti apa yang dialami Qarun dan Firaun.

            Hatinya tidak akan terluka karena cemoohan dan cacian orang, dan hidungnya pun tidak akan mekar karena pujian orang. Santai saja, dan terus menulis. Sampai menemukan penyadaran diri dalam menulis, bahwa kita memang berhajat kepada yang  mengajarkan manusia dengan qalam.

*Tulisan   diambil dari  buku saya  yang berjudul Sekarang Saatnya Belajar Menulis dengan Menulis

Wednesday, May 30, 2012

Celoteh Anak Rumput


Judul: Celoteh Anak Rumput – Seri 1 (Kumpulan Esai)
Penulis: Haderi Idmukha
Penyunting: Tim Pustaka Hanan
Penerbit Digital: Pustaka Hanan
Tebal: 68 Halaman
Size: 1,4 MB
E-Book ini adalah kerjasama Perpustakaan Online dengan komunitas menulis PNBB (Proyek Nulis Buku Bareng)

Sekarang Saatnya, Belajar Menulis dengan Menulis



Judul               : Sekarang Saatnya, Belajar Menulis dengan Menulis

Penulis             : Haderi

ISBN               : 978-602-225-094-4

Terbit               : September 2011

Tebal               : xi + 120  halaman

Penerbit           : LEUTIKA PRIO, YOGYAKARTA

Harga              : Rp. 30.000

Mudah Menulis Cerpen



Judul                                : Mudah Menulis Cerpen

Penulis                              : Haderi

PENERBIT                     : LEUTIKA PRIO, YOGYAKARTA

ISBN                                 : 978-602-225-072-2

TEBAl                              : v + 74 hlm

Terbit                               :Agustus 2011

Harga                               : Rp. 22.000


TENTANG PENULIS

Haderi Ideris  adalah anak pertama dari tiga bersaudara, lahir  dari pasangan  Ideris dan Hamdanah. Ia lahir di  Amuntai, 15 Agustus 1973.
                        Pendidikan formal yang pernah ditempuhnya yaitu; SDN Karya Sejati, Garunggang, MTsN Amuntai, MAN 1 Amuntai, dan   Fakultas Tarbiyah, IAIN Antasari Banjarmasin.
                        Tulisannya, baik artikel maupun cerpen pernah dimuat di harian Banjarmasin Post dan majalah Cahaya Nabawy.
                        Karyanya dalam bentuk buku yaitu: pertama, Mudah Menulis Cerpen(2011)  dan yang kedua, Sekarang Saatnya, Belajar Menulis dengan Menulis (2011). Buku kumpulan artikel dan esainya  diterbitkan dalam bentuk e-book oleh Pustaka Hanan dengan judul Celoteh Anak Rumput (2012) yang dibagi dalam tiga jilid, bisa diunduh secara gratis di  www.pustaka-ebook.com.
                        Ia bersama teman-temannya yang tergabung dalam Grup Proyek Nulis Buku Bareng (PNBB) menerbitkan buku  antalogi  Masa Kecil yang Tak Terlupa (2011). Berikutnya, buku  Ekspresi Cinta untuk SBY (2012). Tentang Grup PNBB bisa diakses di www.proyeknulisbukubareng.com atau proyeknulisbukubareng@groups.facebook.com.
                        Bersama teman jamaah fesbukiyah yang dipelopori Pak Ersis Warmansyah Abbas, ia ikut menulis dalam buku Jatuh Cinta Menulis (2011). Di awal Januari 2012 ia bergabung di  GPM (Grup Persahabatan Menulis), yang digagas Pak Ersis. Bersama teman di grup ini, puisinya dimuat dalam buku Deru Awang-Awang (2012), dan ia juga ikut menulis tentang menulis dalam buku Percaya Ngak Percaya Menulis Itu Mudah (2012) dan masih bersama GPM cerpennya juga dimuat dalam buku antologi cerpen Astaghfirullah (2012). Di beberapa bukunya tersebut, ia memakai nama Haderi Idmukha. Bersama penulis Amuntai menerbitkan buku Kiat Menulis dan Cerpen-Cerpen Pilihan (2012).
                Dalam kesehariannya ayah dari tiga orang anak ini (Ahmad Amin Billah, Muhammad Radhi dan Khairatunnisa) aktif sebagai guru di Ponpes Darul Ulum Amuntai dan juga aktif sebagai kepala sekolah pada TKA/TPA Darul Ma`arif  Panangkalaan.
                        Penulis bisa dihubungi melalui hp. 085248787982.
                        Email: haderi.ideris@yahoo.co.id

                        Facebook  : Haderi Ideris : // http.facebook.com/haderi 15