13. Terampil Menulis, Perlu Motivasi
Rabu, 18 November 2015.
Pukul 09.00 Saya beranggat ke Kemenag HSU. Sepuluh menit sebelum jadwal yang ditentukan, saya harus sampai. Alhamdulillah saya tiba sebagaimana mestinya walau kaki sedikit basah karena hujan yang cukup lebat. Ya walau pakai jas hujan tetap saja terkena tempiasnya.
Masyaallah. Agak gugup juga duduk di hadapan ratusan peserta. Bayangkan, bagaimana tidak grogi? Yang saya hadapi adalah kepala sekolah negeri dan Wakamad Humas; MIN, MTsN, dan MAN. Tambah lagi pegawai Kemenag yang lain. Di situ ada juga perwakilan dari KUA sekabupaten. Untungnya di antara peserta itu ada teman-teman semasa kuliah. Ini yang mengurangi rasa mender saya. Untungnya lagi sejak September saya menjabat kepala MA. Darul Ulum diangkat oleh yayasan. Ya walau swasta dan tidak pegawai negeri, rasanya cukup membantu penampilan saya. Dan, itu saya kemukakan di hadapan peserta.
"Yang saya hadapi para kepala madrasah negeri, tapi yang duduk di hadapan sampeyan ini juga kepala madrasah walau sekolah swasta dan tidak pegawai negeri." Ger peserta pun ketawa.
Kemenangan saya karena menulis buku sehingga bisa berbagi pengalaman menulis dengan peserta. Jika saya tidak menulis, mana mungkin panitia ujug-ujuk menyuruh saya memberi materi. Ya kan? Ini proses.
Inilah kesempatan saya. Dan barangkali seandainya saya menolak tawaran memberikan materi ini, tentu tidak akan datang dua kali. Apa pun kendalanya, saya harus tampil.
Alhamdulillah, ibarat stand up comidy saya bisa membawakan materi yang Mas Eko bilang gernya berantakan.
Karena yang dihadapi adalah mereka yang dari segi keilmuan sudah mumpuni, sudah banyak pengalaman, informasi sudah menumpuk, saya langsung mengeluarkan jurus pemungkas. Saya katakan pada mereka, Sampeyan ini potensi pengalaman dan pengetahuan sudah bejibun. Sampeyan ini bukannya tidak bisa menulis, tetapi belum mau melakukan.
Ya, wajar mereka tidak menulis karena dari motivasi ekonomi mereka sudah mapan. Mendatangkan penghasilan dari menulis tidak mereka lirik lagi.
Namun, manakala menulis menjadi tuntutan. Guru harus mengejar kredit poin minimal membuat laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Atau publikasi karya di media cetak. Karena belum terbiasa menulis, ketika mengawalinya tentu menjadi beban. Walau demikian, asal mau melakukan, saya yakin mereka pasti bisa.
Lain lagi buat mereka yang berpikir pragmatis. Enaknya ambil cara instan. Tinggal sediakan duit PTK-pun jadi. Buat apa repot-repot memikirkan PTK.
Motivasi ekonomi memang tidak termakan lagi buat mereka yang sudah mapan. Namun, ketika menulis sudah menjadi keharusan bagi guru pegawai negeri, motivasi ekonomi masih relevan dikemukakan. Kalau tidak menulis, berakibat pada kepangkatan. Ujungnya-ujungnya kan urusan finansial.
Haderi Ideris.
No comments:
Post a Comment