Kalau pasar terapung bagi masyarakat Kalimantan sudah tidak
asing lagi. Namun, istilah sawah terapung mungkin masih asing di telinga kita. Sawah terapung dibuat sebagai solusi sering terjadinya banjir. Mau banjir atau tidak, bagi petani tidak jadi
masalah lagi. Mereka tetap bisa bertani.
Kalau
di daerah kita, khusunya di Amuntai belum ada yang memperkenalkan, walaupun
ada, hanya terbatas. Sebagaimana sudah dilakukan ibu saya di Garunggang dengan
memanfaatkan elong atau enceng gondok. Ibu saya menyebutnya dengan istilah menanam
padi di atas ilung.
Adapun
alat yang dipakai untuk membuat sawah terapung ini ada beberapa alternatif yang
bisa dipilih, di antaranya, bahan apungnya bisa menggunakan bambu untuk siring
tepi. Bambu dipotong sesuai ukuran yang diinginkan, misalnya untuk ukuran 2 m
x 3 m, dan untuk lahan tengahnya
digunakan sabut kelapa, jerami dan tanah. Ini cara yang digunakan para petani
di Jawa. Ini cukup repot.
Namun,
kalau kita di Amuntai, bahan alam sudah tersedia. Yaitu dengan menggunakan
berkah alam enceng gondok yang selama ini dianggap bala yang harus dibuang. Cukup menggunakan tonggak kayu dan tali yang
dibentang agar enceng gondok tidak bergeser. Atau, kalau sawahnya sudah
berpetak-petak lebih bagus lagi walau tanpa tali, enceng gondoknya sudah
terkurung. Kecuali untuk mengantisipasi banjir bisa kita gunakan tali dan
tonggak kayu tadi supaya tidak hanyut di bawa arus air. Sederhana sekali kan?
Enceng
gondok yang bagus adalah enceng gondok yang tebal. Kalau selama ini petani
kewalahan membuang enceng gondok dari lahan persawahannya, sekarang jangan
dibuang. Cukup dikendalikan dengan menyemprot dengan bahan kimia khusus. Sampai
daunnya lapuk dan mati, diamkan beberpa
hari untuk menghilangkan pengaruh bahan kimia, setelah itu baru bibit siap
tanam di atas enceng gondok tersebut.
No comments:
Post a Comment