Thursday, May 28, 2015

Cerpen "Terusir"



Cerpen: Terusir


Gerimis masih  menyisakan gemercik  air membentur atap rumah, berderai   membasahi bumi. Sesekali kilat menyambar menerangi pekatnya malam. Angin yang berhembus menambah dinginnya suasana.  Di saat seperti ini, di sebuah rumah  terlihat seorang wanita mengeluh karena rasa sakit yang mendenda.
                “Aduuuh ...” keluh wanita itu sambil memegangi perutnya.
                “Armanita! Coba kamu periksakan dirimu ke dokter! Mama lihat seper tinya perutmu itu  semakin hari semakin membesar, mama takut kelau-kalau itu penyakit,” ucap Bu Hamziah pada anaknya.
            Armanita hanya diam, ia menunduk, nampaknya ada beban yang sangat berat yang ia sandang. Sejurus kemudian ia sesunggukan,  kemudian ia  menghambur memeluk ibunya.
            “Mama ... bu ... bukan penyakit yang ada di perut saya ini Ma, tapi cabang bayi.”
            “Apa!” sentak Bu Hamziah. Ia langsung melepas pelukan anaknya.
            “Ja ... jadi, kamu hamil?”
            “Ya, Ma.”
            “Mengapa kamu tidak bilang dari dulu Nak?” Sesal Bu Hamziah. “Pantas saja sepulang dari  kota,  kamu terlihat murung dan pucat. Aku tidak menyangka kamu hamil Nak. Dan  kamu tidak pernah cerita pada mama, kalau kamu  kawin dan menikah di sana, itulah sebabnya mama mengira itu hanya penyakit.”
            Sebenarnya Bu Hamziah sempat curiga, kalau anaknya berbadan dua. Ketika Armanita mengeluhkan mual dan muntah-muntah. Tapi kecurigaan itu terbantahkan oleh pengakuan Armanita sendiri yang mengatakan, kalau dia hanya masuk angin dan  baik-baik saja.
            “Ma ... maafkan saya Ma,”  Armanita  semakin terisak. “saya tidak berani bercerita sama Mama, saya takut kalau-kalau Mama marah.”
            Bu Hamziah memeluk anaknya yang kini sedang hamil empat bulan, tanpa bisa menahan linang air matanya. Begitu pula Armanita semakin senggugukan di pelukan mamanya.  
            Bu Hamziah sangat terpukul dengan kejadian yang menimpa anaknya. Ia pun berusaha tegar. Namun gurat-gurat penyesalan tetap terlihat di wajahnya.

            “Sudahlah anakku, mama tidak marah, namun mama sangat menyesal. Mungkin ini salah mama juga, mengapa mama  mengizinkan kamu merantau ke kota untuk merubah nasib. Andai waktu itu ....”
            “Ma, mama tidak salah, saya yang salah. Andaikan aku bisa menjaga kehormatanku sebagai wanita, dan tidak tergoda dengan gemerlapnya harta dunia, mungkin ini tidak akan terjadi Ma. Ini mungkin sudah  menjadi azab  atas perbuatanku sendiri Ma. Maafkan Armanita Ma, yang tidak bisa menjaga kepercayaan Mama.”  Armanita semakin terisak, menyesali perbuatannya.

            Bu  Hamziah cuma bisa pasrah.  Ya bagaimana lagi, andai waktu bisa diputar ulang, mungkin Bu Hamziah tidak akan mengizinkan anaknya mengadu nasib ke kota. Sebenarnya  berat hati Bu Hamziah  mengizinkan Armanita waktu itu. Karena alasan ekonomilah Bu Hamziah mengizinkan anaknya.  Ya karena semenjak kematian suaminya  kehidupan mereka sangat susah. Ia bekerja serebutan, kalau musim tanam, ia bekerja sebagai upahan tuk menanam padi di sawah, begitu juga Armanita.  Buruh cuci pun mereka lakoni. Namun, kehidupan mereka tetap saja miskin.

            Di saat seperti itulah, Armanita mendapat tawaran dari teman  sekelasnya waktu di SMA yang kini sudah sukses  bekerja di kota.
            “Ar, gimana kalau kamu ikut aku ke kota. Sementara kamu belum dapat pekerjaan di sana, kamu boleh menumpang di rumahku. Ya,  mungkin sekalian bantu-bantu aku di rumah,  gimana Ar, kamu bersedia?”
            “Ya gimana ya Mir, aku mikir dulu, lagian aku juga harus izin dulu sama mama, kalau mama ngizinin, ya aku bersedia.”
            “Aku yakin, ibumu pasti ngizinin kamu,” Tukas Mirna dengan penuh keyakinan.
            “Masalahnya, Mir, kamu tahu  sendirikan, saat kita sekolah dulu, aku adalah siswi paling bodoh,dalam kenaikan kelas, aku  pasti diurutan paling uncit,  mana mungkin aku bisa kerja di sana.”  keluh Armanita.

            “Ya dicoba dululah, siapa tahu nasibmu bisa berubah, seperti aku.” Ungkap Mirna.
            “Mir, aku tetap tidak yakin, tapi kalau soal masak memasak aku bisa, gimana kalau aku kerja dengan kamu saja?”

            “Maksudmu, jadi pembantu aku?”
            “Ya Mir, mungkin pekerjaan itu saja bisa aku lakukan.”
            “Ngomong-ngomong,  suamimu mana?” tanya Mirna.
            Armanita menunduk sedih, “Suamiku sudah meninggal, setahun yang lalu.”
            “Maafkan aku Ar, kalau pertanyaanku membangkitkan lukamu.”
            “Ngak apa-apa Mir.”

                        Perbincangan akrab dua teman yang sudah lama tidak bertemu itu semakin hangat. Sementara itu, Bu Hamziah masih di dapur menyiapkan minuman untuk mereka. Tak lama Bu Hamziah sudah berada di tengah-tengah mereka. Dan menyuguhkan teh hangat.
            “Silakan Nak Mirna diminum tehnya, ya cuma teh dan ubi rebus aja yang bisa kami suguhkan.”
            “Ya terima kasih Bu. Bu, mumpung kita lagi ngumpul di sini, saya minta izin tuk ngajak Armanita mengadu nasib ke kota, ya maunya Armanita  katanya sih mau kerja jadi pembantu rumah tangga saya saja. Gimana, Ibu tidak berkeratan?”

            “Ibu sih tidak keberatan, dan mengizinkan aja, kalau memang Armanitanya sudah punya tekad yang bulat, cuma ibu pesan, kamu harus bisa membawa dan menjaga diri. Kamu paham Ar yang mama maksud?”

            “Ya, Ma, saya ngerti. Makasih Mama sudah ngizinin Ar untuk berusaha mengubah nasib. Tapi bagaimana dengan Aldi Ma?”
            “Soal anakmu Mama bisa mengurusnya, kamu tak perlu khawatir.”

            Begitulah awal cerita Armanita terdampar di kota besar. Saat berangkat, peluk dan tangis mewarnai perpisan anak dan ibu. Lebih-lebih  Armanita yang harus rela berpisah dengan anaknya yang masih berumur  lima tahun itu,  dengan sangat terpaksa  melepaskan pelukan anaknya  yang  meraung, menangis sejadi-jadinya, karena ia mengerti akan ditinggalkan ibunya. Sakit, perih rasanya  hati  menyaksikan adegan permisan  ibu, cucu dan anaknya itu.  Lebih-lebih bagi Armanita, ya karena alasan ekonomilah, ia harus rela berpisah dengan ibu dan anaknya.

            Keputusan sudah diambil, tekad pun sudah bulat.  Beruntung  Armanita  mendapatkan  kebaikan seorang teman yang rela menampung dan memperkerjaanya di rumahnya sendiri. Namun, tentu saja tidak seperti pembantu kebanyakan. Mirna dan suaminya memperlakukan Armanita seolah saudaranya sendiri.
            Rumah yang begitu besar dan mewah. Fasilitas yang serba ada membuat Armanita berdecak kagum atas kesuksesan temannya ini. Terang saja mereka bisa memiliki fasilitas yang serba wah, soalnya keduanya adalah pengusaha sukses.
            Namun, ada sedikit keganjilan di rumah mewah ini. Semenjak Armanita berada di rumah itu, ia tidak melihat ada orang lain selain mereka.
            “Maaf Mir,  aku boleh tanya?”
            “Silakan Ar, ada apa?”
            “Kamu belum punya anak?”
            Mirna terlihat sedih, “Ya Ar, sudah tujuh tahun kami berumah tangga, namun belum dikasih momongan. Ya kami sudah berusaha berobat  ke berbagai tempat, namun belum berhasil, kayanya aku yang bermasalah ”
            “Oh, maafkan saya Mir, kalau pertanyaanku menyakiti hatimu. Yang sabar ya.”

            Begitulah nasib manusia, ada saja sisi kelebihan dan kekurangannya. Ini pertanda hanya Allahlah yang Maha Sempurna itu.

            Roda waktu terus berputar. Keakraban  Mirna, Armanita dan Angga, suami Mirna semakin hangat. Ada  sedikit kekhawatiran dan rasa cemburu  terbersit di hati Mirna melihat keakraban suaminya. Ia merasakan tatapan mata suaminya pada Armanita, bukanlah tatapan seorang teman, tapi lebih dari itu. Begitu juga tatapan Armanita ketika melayani mereka di ruang makan, seolah Armanita berharap lebih.  Ah, mungkin  itu perasaannya saja, begitu pikir Mirna untuk menetralisir  perasaannya.

            Suatu malam, di saat semua penghuni rumah sudah terlelap dalam buaian mimpi indah masing-masing. Namun, Armanita belum bisa memejamkan matanya, ia gelisah, ia tidak mengerti perasaannya, mengapa ia begitu mengaharap Angga, suami temannya  sendiri. Armanita berusah membuang jauh angannya itu. Tapi semakin berusaha membuang angan itu, malah godaan  nafsunya terus menggodanya untuk menguasai dan memiliki suami temannya sendiri, beserta fasilitas yang dimilikinya. Pikiran kotor itu pun terus menghunjam dalam benaknya.

            Sementara itu  di kamarnya sendiri, Angga juga belum bisa memajamkan matanya. Sedangkan Mirna sudah  sejak  tadi  tertidur pulas.  Angga merasakan getaran aneh semenjak Armanita  masuk dalam kehidupan mereka. Lebih-lebih  dalam mingggu terakhir, Angga merasakan perhatian Armanita kepadanya,  yang belum pernah ia dapatkan dari Mirna istrinya. Mungkin itu karena kesibukan mereka masing-masing dalam berbesnis.

            Sejurus kemudian, Angga beringsut  keluar kamar.  Ia coba menghilangkan  gundahnya itu  dengan  membuat  minuman segar di dapur,  sambil mengisap  rokok. Tapi, hal itu belum bisa menghilangkan desiran hasrat  di hatinya.

            Anganya terus  memburunya, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengungkapkan rasa itu pada Armanita. Diam-diam ia mulai  menuju kamar Armanita. Pintu kamar Armanita ia ketok.

            Ketika mendengar ketokan pintu kamarnya, jantung Armanita berdetak kencang, ada perasaan gugup, ada rasa harap juga. Armanita berjalan perlahan menghampiri pintu, setelah tiba di pintu ia tidak langsung membukanya. Ia masih menunggu ketokan berikutnya. Suara ketokan pun kembali terdengar.
            “Si ... siapa?” Tanya Armanita agak gugup.
            “Aku, Ar!” Seru Angga agak lirih.
            Armanita belum berani membuka pintu kamarnya.
            “Tolong buka pintunya dulu!” pinta Angga lagi.
            “Tapi, Kak!”
            “Ayolah, sebentar saja, ada yang harus saya bicarakan!” Bujuk Angga.
            “Besok saja Kak, saya takut terjadi fitnah,” sergah Armanita.
            “Armanita! Ini penting sekali, tidak bisa ditunda besok,”
            Armanita tidak bisa menolak  kemauan  Angga yang begitu baik, ia buka pintu perlahan. Setelah pintu kamar terbuka, secepat kilat Angga masuk.
            “Ada apa Kak?” tanya Armanita agak gugup.
            “Armanita, sudah lama aku memendam rasa ini, aku  tidak bisa tidur, aku terus memikirkanmu. Aku tak tahu apakah ini cinta? Atau apa? yang jelas sejak kamu hadir di kehidupanku, aku merasakan getaran-getaran itu dalam jiwaku, dan itu hampir tak pernah aku dapatkan pada diri Mirna,” sambil berkata seperti itu   Angga coba memeluk Armanita.
             Namun, Armanita tidak berusa berontak. Seolah ia juga menaruh harapan yang sama.
            “Tapi Kak, bagaimana dengan Mirna?” Armanita membalikkan punggungnya menantang wajah  Angga.
            “Jangan khawatir, rahasia ini hanya kita berdua yang tahu.” suara Angga bergetar  karena sudah dirasuk nafsu birahi yang bergejolak.
            Sementara Armanita yang sudah lama tidak merasakan belaian dan perhatian seorang laki-laki juga sudah dirasuk nafsu iblis, ia sudah lupa segalanya, akal sehatnya sudah melayang entah kemana, sehingga malam itu terjadi hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan sepasang anak adam yang belum diikat tali pernikahan. Perselingkuhan Majikan  dan pembantu kurang ajar pun terjadi malam itu.    Pengkhianatan suami pada istrinya, pengkhiatanan seorang teman pada teman baiknya sendiri, sungguh pagar makan tanaman.           
            Dosa demi dosa terus berlanjut.  Kecurigaan Mirna sebelumnya semakin  bertambah. Hal itu ia rasakana, karena suaminya tidak begitu beragairah memberikan nafkah batinnya, dan  hampir setiap malam mendapati  suaminya tidak berada di sampingnya. Dicarinya suaminya di ruang kerja, namun tidak ia temukan. Sampai akhirnya ia mendengar suara mencurigakan di kamar Armanita, ia coba  pasang kupingnya dan mengintip dari lobang kunci. Mata Mirna terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Kecurigaannya sudah menjadi kenyataan. Tanpa permisi ia langsung menghambur ke dalam kamar itu. Dan menumpahkan sumpah-serapahnya pada suami dan Armanita.
            “Dasar wanita murahan!  heeeh, plak, plak,” tamparan keras mendarat di pipi Armanita. “Pergi ... pergi kamu dari sini! Aku tak menyangka Ar, kamu adalah teman yang sudah kuanggap saudara sendiri tega mengkhianatiku ...” Mirna tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya.
            “Ma ... maafkan aku Mir... aku khilaf.” Armanita memeluk kaki  Mirna.
            Mirna mendongak menahan geram,  kakinya yang dipeluk Armanita pun ia hentakkan, membuat Armanita terguling di lantai. “Pergi ... pergi! Aku tak sudi serumah dengan pengkhianat. Cepat ... sebelum aku berubah pikiran.” Teriak Mirna kesetanan.

            Armanita pun malam itu terusir dari rumah teman yang  begitu baik. Karena ia tak mampu menjaga amanah yang diberikan temannya itu, ia begitu tega mengkhiananti  temannya sendiri.

             Sementara Angga tertunduk. Menunggu ponis apa yang akan dijatuhkan istrinya padanya.
            “Mas!” Sambil berurai air mata Mirna  berusaha tetap tegar, dan keputusannya sudah bulat. Ponis pun akan ia jatuhkan. “Besok aku akan ke Pengadilan Agama untuk menggugat cerai.”
            Setelah mengucapkan kata-kata itu, Mirna menghambur keluar  meninggalkan kamar  laknat itu sambil menutup wajahnya. Ia hempaskan tubuhnya di ranjang kamarnya, ia tidak habis-habisnya menyesali perbuatan temannya yang tega menuhuknya dari belakang.
            Bahtera rumah tangga pun hancur berantakan diterpa badai yang begitu ganas. Gelap sudah jalan yang mesti ditempuh. Tak ada alasan lagi untuk memperbaiki bahtera yang hancur. Jalan  satu-satunya adalah cerai. Hancur lebur hati Mirna tak bisa digambarkan lagi. Sementara Armanita berjalan gontai. Ia pun harus pulang ke kampung halaman dengan membawa sesal yang dalam.

***
Begitulah manusia. Tidak lepas dari empat keadaan. Kadang berada dalam ketaatan, kadang berada dalam kemaksiatan. Kadang berada dalam nikmat, kadang berada dalam penderitaan. Manusia memang hina, lemah secara hakiki. namun, kita dituntut untuk bersikap bijak agar kita bisa menyikanya dengan baik. 
Semua itu memang perlu dukungan dari pengetahuan agama, terutama ilmu tauhid. 

Ilmu tauhid, ilmu yang mengarahkan kita kepada sikap yang benar. Saat kita berada dalam ketaatan, kita sadar apa yang kita lakukan adalah karunia dari Allah semata, sehingga kita bisa berada dalam ketaatan. Bersyukurlah. Begitu pula ketika kita berada dalam kenikmatan, baik lahir maupun batin, adalah semata karunia dari-Nya, kita pun dituntut mensyukurinya. Tatkala kita dalam kemaksiatan, akuilah kita yang lemah, lemah iman, tak mampu melawan nafsu kita sendiri, mintalah ampunan Allah, sungguh Allah Maha Pengampun. Dan, tatkala kita dalam kesengsaraan, bersabarlah. Telitilah, boleh jadi sebagai teguran atas dosa yang kita lakukan.

No comments:

Post a Comment