Cerpen:
Terusir
Gerimis masih menyisakan
gemercik air membentur atap rumah, berderai membasahi bumi.
Sesekali kilat menyambar menerangi pekatnya malam. Angin yang berhembus
menambah dinginnya suasana. Di saat seperti ini, di sebuah rumah
terlihat seorang wanita mengeluh karena rasa sakit yang mendenda.
“Aduuuh ...” keluh wanita itu sambil memegangi perutnya.
“Armanita! Coba kamu periksakan dirimu ke dokter! Mama lihat seper tinya
perutmu itu semakin hari semakin membesar, mama takut kelau-kalau itu
penyakit,” ucap Bu Hamziah pada anaknya.
Armanita hanya diam, ia menunduk, nampaknya ada beban yang sangat berat yang ia
sandang. Sejurus kemudian ia sesunggukan, kemudian ia menghambur
memeluk ibunya.
“Mama ... bu ... bukan penyakit yang ada di perut saya ini Ma, tapi cabang
bayi.”
“Apa!” sentak Bu Hamziah. Ia langsung melepas pelukan anaknya.
“Ja ... jadi, kamu hamil?”
“Ya, Ma.”
“Mengapa kamu tidak bilang dari dulu Nak?” Sesal Bu Hamziah. “Pantas saja
sepulang dari kota, kamu terlihat murung dan pucat. Aku tidak
menyangka kamu hamil Nak. Dan kamu tidak pernah cerita pada mama, kalau
kamu kawin dan menikah di sana, itulah sebabnya mama mengira itu hanya
penyakit.”
Sebenarnya Bu Hamziah sempat curiga, kalau anaknya berbadan dua. Ketika
Armanita mengeluhkan mual dan muntah-muntah. Tapi kecurigaan itu terbantahkan
oleh pengakuan Armanita sendiri yang mengatakan, kalau dia hanya masuk angin
dan baik-baik saja.
“Ma ... maafkan saya Ma,” Armanita semakin terisak. “saya tidak
berani bercerita sama Mama, saya takut kalau-kalau Mama marah.”
Bu Hamziah memeluk anaknya yang kini sedang hamil empat bulan, tanpa bisa
menahan linang air matanya. Begitu pula Armanita semakin senggugukan di pelukan
mamanya.
Bu Hamziah sangat terpukul dengan kejadian yang menimpa anaknya. Ia pun
berusaha tegar. Namun gurat-gurat penyesalan tetap terlihat di wajahnya.
“Sudahlah anakku, mama tidak marah, namun mama sangat menyesal. Mungkin ini
salah mama juga, mengapa mama mengizinkan kamu merantau ke kota untuk
merubah nasib. Andai waktu itu ....”
“Ma, mama tidak salah, saya yang salah. Andaikan aku bisa menjaga kehormatanku
sebagai wanita, dan tidak tergoda dengan gemerlapnya harta dunia, mungkin ini
tidak akan terjadi Ma. Ini mungkin sudah menjadi azab atas
perbuatanku sendiri Ma. Maafkan Armanita Ma, yang tidak bisa menjaga
kepercayaan Mama.” Armanita semakin terisak, menyesali perbuatannya.
Bu Hamziah cuma bisa pasrah. Ya bagaimana lagi, andai waktu bisa
diputar ulang, mungkin Bu Hamziah tidak akan mengizinkan anaknya mengadu nasib
ke kota. Sebenarnya berat hati Bu Hamziah mengizinkan Armanita
waktu itu. Karena alasan ekonomilah Bu Hamziah mengizinkan anaknya. Ya
karena semenjak kematian suaminya kehidupan mereka sangat susah. Ia
bekerja serebutan, kalau musim tanam, ia bekerja sebagai upahan tuk menanam
padi di sawah, begitu juga Armanita. Buruh cuci pun mereka lakoni. Namun,
kehidupan mereka tetap saja miskin.
Di saat seperti itulah, Armanita mendapat tawaran dari teman sekelasnya
waktu di SMA yang kini sudah sukses bekerja di kota.
“Ar, gimana kalau kamu ikut aku ke kota. Sementara kamu belum dapat pekerjaan
di sana, kamu boleh menumpang di rumahku. Ya, mungkin sekalian
bantu-bantu aku di rumah, gimana Ar, kamu bersedia?”
“Ya gimana ya Mir, aku mikir dulu, lagian aku juga harus izin dulu sama mama,
kalau mama ngizinin, ya aku bersedia.”
“Aku yakin, ibumu pasti ngizinin kamu,” Tukas Mirna dengan penuh keyakinan.
“Masalahnya, Mir, kamu tahu sendirikan, saat kita sekolah dulu, aku
adalah siswi paling bodoh,dalam kenaikan kelas, aku pasti diurutan paling
uncit, mana mungkin aku bisa kerja di sana.” keluh Armanita.
“Ya dicoba dululah, siapa tahu nasibmu bisa berubah, seperti aku.” Ungkap
Mirna.
“Mir, aku tetap tidak yakin, tapi kalau soal masak memasak aku bisa, gimana
kalau aku kerja dengan kamu saja?”
“Maksudmu, jadi pembantu aku?”
“Ya Mir, mungkin pekerjaan itu saja bisa aku lakukan.”
“Ngomong-ngomong, suamimu mana?” tanya Mirna.
Armanita menunduk sedih, “Suamiku sudah meninggal, setahun yang lalu.”
“Maafkan aku Ar, kalau pertanyaanku membangkitkan lukamu.”
“Ngak apa-apa Mir.”
Perbincangan akrab dua teman yang sudah lama tidak bertemu itu semakin hangat.
Sementara itu, Bu Hamziah masih di dapur menyiapkan minuman untuk mereka. Tak
lama Bu Hamziah sudah berada di tengah-tengah mereka. Dan menyuguhkan teh
hangat.
“Silakan Nak Mirna diminum tehnya, ya cuma teh dan ubi rebus aja yang bisa kami
suguhkan.”
“Ya terima kasih Bu. Bu, mumpung kita lagi ngumpul di sini, saya minta izin tuk
ngajak Armanita mengadu nasib ke kota, ya maunya Armanita katanya sih mau
kerja jadi pembantu rumah tangga saya saja. Gimana, Ibu tidak berkeratan?”
“Ibu sih tidak keberatan, dan mengizinkan aja, kalau memang Armanitanya sudah
punya tekad yang bulat, cuma ibu pesan, kamu harus bisa membawa dan menjaga
diri. Kamu paham Ar yang mama maksud?”
“Ya, Ma, saya ngerti. Makasih Mama sudah ngizinin Ar untuk berusaha mengubah
nasib. Tapi bagaimana dengan Aldi Ma?”
“Soal anakmu Mama bisa mengurusnya, kamu tak perlu khawatir.”
Begitulah awal cerita Armanita terdampar di kota besar. Saat berangkat, peluk
dan tangis mewarnai perpisan anak dan ibu. Lebih-lebih Armanita yang
harus rela berpisah dengan anaknya yang masih berumur lima tahun
itu, dengan sangat terpaksa melepaskan pelukan anaknya
yang meraung, menangis sejadi-jadinya, karena ia mengerti akan
ditinggalkan ibunya. Sakit, perih rasanya hati menyaksikan adegan
permisan ibu, cucu dan anaknya itu. Lebih-lebih bagi Armanita, ya
karena alasan ekonomilah, ia harus rela berpisah dengan ibu dan anaknya.
Keputusan sudah diambil, tekad pun sudah bulat. Beruntung
Armanita mendapatkan kebaikan seorang teman yang rela menampung dan
memperkerjaanya di rumahnya sendiri. Namun, tentu saja tidak seperti pembantu
kebanyakan. Mirna dan suaminya memperlakukan Armanita seolah saudaranya
sendiri.
Rumah yang begitu besar dan mewah. Fasilitas yang serba ada membuat Armanita
berdecak kagum atas kesuksesan temannya ini. Terang saja mereka bisa memiliki
fasilitas yang serba wah, soalnya keduanya adalah pengusaha sukses.
Namun, ada sedikit keganjilan di rumah mewah ini. Semenjak Armanita berada di
rumah itu, ia tidak melihat ada orang lain selain mereka.
“Maaf Mir, aku boleh tanya?”
“Silakan Ar, ada apa?”
“Kamu belum punya anak?”
Mirna terlihat sedih, “Ya Ar, sudah tujuh tahun kami berumah tangga, namun
belum dikasih momongan. Ya kami sudah berusaha berobat ke berbagai
tempat, namun belum berhasil, kayanya aku yang bermasalah ”
“Oh, maafkan saya Mir, kalau pertanyaanku menyakiti hatimu. Yang sabar ya.”
Begitulah nasib manusia, ada saja sisi kelebihan dan kekurangannya. Ini
pertanda hanya Allahlah yang Maha Sempurna itu.
Roda waktu terus berputar. Keakraban Mirna, Armanita dan Angga, suami
Mirna semakin hangat. Ada sedikit kekhawatiran dan rasa cemburu
terbersit di hati Mirna melihat keakraban suaminya. Ia merasakan tatapan mata
suaminya pada Armanita, bukanlah tatapan seorang teman, tapi lebih dari itu.
Begitu juga tatapan Armanita ketika melayani mereka di ruang makan, seolah
Armanita berharap lebih. Ah, mungkin itu perasaannya saja, begitu
pikir Mirna untuk menetralisir perasaannya.
Suatu malam, di saat semua penghuni rumah sudah terlelap dalam buaian mimpi
indah masing-masing. Namun, Armanita belum bisa memejamkan matanya, ia gelisah,
ia tidak mengerti perasaannya, mengapa ia begitu mengaharap Angga, suami
temannya sendiri. Armanita berusah membuang jauh angannya itu. Tapi
semakin berusaha membuang angan itu, malah godaan nafsunya terus
menggodanya untuk menguasai dan memiliki suami temannya sendiri, beserta
fasilitas yang dimilikinya. Pikiran kotor itu pun terus menghunjam dalam
benaknya.
Sementara itu di kamarnya sendiri, Angga juga belum bisa memajamkan
matanya. Sedangkan Mirna sudah sejak tadi tertidur pulas.
Angga merasakan getaran aneh semenjak Armanita masuk dalam
kehidupan mereka. Lebih-lebih dalam mingggu terakhir, Angga merasakan
perhatian Armanita kepadanya, yang belum pernah ia dapatkan dari Mirna
istrinya. Mungkin itu karena kesibukan mereka masing-masing dalam berbesnis.
Sejurus kemudian, Angga beringsut keluar kamar. Ia coba
menghilangkan gundahnya itu dengan membuat minuman
segar di dapur, sambil mengisap rokok. Tapi, hal itu belum bisa
menghilangkan desiran hasrat di hatinya.
Anganya terus memburunya, sampai akhirnya ia memutuskan untuk
mengungkapkan rasa itu pada Armanita. Diam-diam ia mulai menuju kamar
Armanita. Pintu kamar Armanita ia ketok.
Ketika mendengar ketokan pintu kamarnya, jantung Armanita berdetak kencang, ada
perasaan gugup, ada rasa harap juga. Armanita berjalan perlahan menghampiri
pintu, setelah tiba di pintu ia tidak langsung membukanya. Ia masih menunggu
ketokan berikutnya. Suara ketokan pun kembali terdengar.
“Si ... siapa?” Tanya Armanita agak gugup.
“Aku, Ar!” Seru Angga agak lirih.
Armanita belum berani membuka pintu kamarnya.
“Tolong buka pintunya dulu!” pinta Angga lagi.
“Tapi, Kak!”
“Ayolah, sebentar saja, ada yang harus saya bicarakan!” Bujuk Angga.
“Besok saja Kak, saya takut terjadi fitnah,” sergah Armanita.
“Armanita! Ini penting sekali, tidak bisa ditunda besok,”
Armanita tidak bisa menolak kemauan Angga yang begitu baik, ia buka
pintu perlahan. Setelah pintu kamar terbuka, secepat kilat Angga masuk.
“Ada apa Kak?” tanya Armanita agak gugup.
“Armanita, sudah lama aku memendam rasa ini, aku tidak bisa tidur, aku
terus memikirkanmu. Aku tak tahu apakah ini cinta? Atau apa? yang jelas sejak
kamu hadir di kehidupanku, aku merasakan getaran-getaran itu dalam jiwaku, dan
itu hampir tak pernah aku dapatkan pada diri Mirna,” sambil berkata seperti
itu Angga coba memeluk Armanita.
Namun, Armanita tidak berusa berontak. Seolah ia juga menaruh harapan
yang sama.
“Tapi Kak, bagaimana dengan Mirna?” Armanita membalikkan punggungnya menantang
wajah Angga.
“Jangan khawatir, rahasia ini hanya kita berdua yang tahu.” suara Angga
bergetar karena sudah dirasuk nafsu birahi yang bergejolak.
Sementara Armanita yang sudah lama tidak merasakan belaian dan perhatian
seorang laki-laki juga sudah dirasuk nafsu iblis, ia sudah lupa segalanya, akal
sehatnya sudah melayang entah kemana, sehingga malam itu terjadi hal yang
seharusnya tidak boleh dilakukan sepasang anak adam yang belum diikat tali
pernikahan. Perselingkuhan Majikan dan pembantu kurang ajar pun terjadi
malam itu. Pengkhianatan suami pada istrinya, pengkhiatanan
seorang teman pada teman baiknya sendiri, sungguh pagar makan tanaman.
Dosa demi dosa terus berlanjut. Kecurigaan Mirna sebelumnya semakin
bertambah. Hal itu ia rasakana, karena suaminya tidak begitu beragairah
memberikan nafkah batinnya, dan hampir setiap malam mendapati
suaminya tidak berada di sampingnya. Dicarinya suaminya di ruang kerja, namun
tidak ia temukan. Sampai akhirnya ia mendengar suara mencurigakan di kamar
Armanita, ia coba pasang kupingnya dan mengintip dari lobang kunci. Mata
Mirna terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang ia saksikan. Kecurigaannya
sudah menjadi kenyataan. Tanpa permisi ia langsung menghambur ke dalam kamar
itu. Dan menumpahkan sumpah-serapahnya pada suami dan Armanita.
“Dasar wanita murahan! heeeh, plak, plak,” tamparan keras mendarat di
pipi Armanita. “Pergi ... pergi kamu dari sini! Aku tak menyangka Ar, kamu
adalah teman yang sudah kuanggap saudara sendiri tega mengkhianatiku ...” Mirna
tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya.
“Ma ... maafkan aku Mir... aku khilaf.” Armanita memeluk kaki Mirna.
Mirna mendongak menahan geram, kakinya yang dipeluk Armanita pun ia
hentakkan, membuat Armanita terguling di lantai. “Pergi ... pergi! Aku tak sudi
serumah dengan pengkhianat. Cepat ... sebelum aku berubah pikiran.” Teriak
Mirna kesetanan.
Armanita pun malam itu terusir dari rumah teman yang begitu baik. Karena
ia tak mampu menjaga amanah yang diberikan temannya itu, ia begitu tega
mengkhiananti temannya sendiri.
Sementara Angga tertunduk. Menunggu ponis apa yang akan dijatuhkan
istrinya padanya.
“Mas!” Sambil berurai air mata Mirna berusaha tetap tegar, dan
keputusannya sudah bulat. Ponis pun akan ia jatuhkan. “Besok aku akan ke
Pengadilan Agama untuk menggugat cerai.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Mirna menghambur keluar meninggalkan
kamar laknat itu sambil menutup wajahnya. Ia hempaskan tubuhnya di
ranjang kamarnya, ia tidak habis-habisnya menyesali perbuatan temannya yang
tega menuhuknya dari belakang.
Bahtera rumah tangga pun hancur berantakan diterpa badai yang begitu ganas.
Gelap sudah jalan yang mesti ditempuh. Tak ada alasan lagi untuk memperbaiki
bahtera yang hancur. Jalan satu-satunya adalah cerai. Hancur lebur hati
Mirna tak bisa digambarkan lagi. Sementara Armanita berjalan gontai. Ia pun
harus pulang ke kampung halaman dengan membawa sesal yang dalam.
***
Begitulah manusia. Tidak lepas dari empat keadaan. Kadang berada dalam ketaatan, kadang berada dalam kemaksiatan. Kadang berada dalam nikmat, kadang berada dalam penderitaan. Manusia memang hina, lemah secara hakiki. namun, kita dituntut untuk bersikap bijak agar kita bisa menyikanya dengan baik.
Semua itu memang perlu dukungan dari pengetahuan agama, terutama ilmu tauhid.
Ilmu tauhid, ilmu yang mengarahkan kita kepada sikap yang benar. Saat kita berada dalam ketaatan, kita sadar apa yang kita lakukan adalah karunia dari Allah semata, sehingga kita bisa berada dalam ketaatan. Bersyukurlah. Begitu pula ketika kita berada dalam kenikmatan, baik lahir maupun batin, adalah semata karunia dari-Nya, kita pun dituntut mensyukurinya. Tatkala kita dalam kemaksiatan, akuilah kita yang lemah, lemah iman, tak mampu melawan nafsu kita sendiri, mintalah ampunan Allah, sungguh Allah Maha Pengampun. Dan, tatkala kita dalam kesengsaraan, bersabarlah. Telitilah, boleh jadi sebagai teguran atas dosa yang kita lakukan.
No comments:
Post a Comment