Friday, June 5, 2015

Cara Menanam Padi di Enceng Gondok




Ada dua karakter sawah di daerah Amuntai, khususnya Panangkalaan, ada daerah atas atau sawah yang datarannya agak tinggi, airnya cepat surut. Ada  daerah bawah, yang airnya lambat surutnya. Biasanya daerah atas ini yang harus digarap lebih dahulu. Baru daerah bawah yang digarap.
                Apa pun karakter sawahnya, enceng gondok, kayapu dapat dimanfaatkan, tanpa harus disingkirkan. Setelah melakukan penyemprotan, diamkan dulu sampai lapuk, mati. Diamkan selama  satu minggu atau lebih untuk menghilangkan pengaruh bahan kimia tadi baru bibit bisa kita tanam. Kalau tidak ingin menggunakan bahan kimia, kita bisa membabat bagian atasnya saja dengan golok atau mesin rumput.
                Lalu cara tanamnya bagaimana?
                Cara menanam cukup sederhana. Jika airnya masih dalam, bibit padi kita tancapkan saja di sela-sela enceng gondok tadi sampai melewati akarnya, biarkan bibit terapung bersama enceng gondok tanpa harus menancapkannya ke tanah. Selama dua sampai empat hari biasanya padi mengalami perubahan agak kekuningan karena masih tahap penyesuaian diri.  Jika sudah memasuki umur satu minggu, padi mulai menghijau kembali. Akar padi sudah mulai berkembang ke samping menyatu dengan enceng gondok tadi. Nah, jika terjadi banjir, padi tidak akan tenggelam karena ikut terangkat, terapung bersama enceng gondok. Dan, jika tidak terjadi banjir, airnya mulai surut, padi pun ikut ke bawah, dan akhirnya menancap ke tanah.
                Adapun, jika airnya sudah kering, kita bisa bertanam langsung ke tanah. Namun, resekonya, jika banjir, padi akan terendam dan tertindih enceng gondok. Ini yang sering dikhawatirkan petani, karenanya, mereka segan memanfaatkan enceng gondok. Padahal solusinya sama saja dengan cara tanam pada sawah yang masih ada airnya, jangan ditancapkan langsung ke tanah, cukup di atas enceng gondoknya. Ketika air datang, enceng gondok akan terapung karena ia memiliki rongga udara.
                Nah, itu cara tanam padi di enceng gondok pada sawah yang airnya bisa surut dan kering. Bagaimana dengan sawah yang airnya tidak bisa surut dan kering, atau  mungkin sungai yang penuh dengan enceng gondok? Caranya sama saja, justru ini yang dimaksudkan dengan sawah apung dengan memanfaatkan sumber alam yang ada.
                Bahkan, enceng gondok ini bisa kita manfaatkan untuk lahan menyemai bibit. Caranya dengan membabat bagian atasnya, kalau tidak, cukup kita membalikkan enceng gondok, sehingga akarnya berada di atas. Kita atur sedemikian rupa, lalu kita tabur lumpur di atasnya. Padi pun siap kita semai.
                Untuk hasil maksimal, kita harus memperhatikan jarak tanam. Mengapa? Jika jarak tanam terlalu dekat,   memudahkan mangsa tikus bersembunyi, dan, perkembangan padi agak lambat karena zat makanannya terbagi, dan tidak tercukupi. Dan, setiap satu meter kita beri jarak lebih lebar lagi, untuk memudahkan pemeliharaan.
               

Thursday, June 4, 2015

Pemanfaatan Enceng Gondok, kayapu dan Ganggang untuk Lahan Pertanian




                Selama ini kita beranggapan bertani itu sawahnya harus bersih dari rumput. Makanya, ketika enceng gondok, kayapu, ganggang memenuhi persawahan, kita beranggapan bahwa biaya dan tenaga akan banyak terkuras untuk menyingkirkannya. Padahal, enceng gondok, kayapu tadi bisa dimanfaatkan, tanpa harus dibuang.
Ada beberapa manfaat yang bisa saya kemukakan di sini, yaitu:
1.       Bisa dijadikan media tanam untuk sawah apung.
2.       Karena dimanfaatkan, otomatis mengurangi biaya dan tenaga.
3.       Kalau sawahnya kering,  jadi pelindung tanah agar tidak kering dan lekang, sekaligus jadi pupuk.
4.       Karena dijadikan sawah apung, otomatis sebagai antisipasi banjir.

Wednesday, June 3, 2015

CARA MEMBUAT SAWAH TERAPUNG



Kalau pasar terapung bagi masyarakat Kalimantan sudah tidak asing lagi. Namun, istilah sawah terapung mungkin masih asing di telinga kita.  Sawah terapung dibuat sebagai solusi  sering terjadinya banjir.  Mau banjir atau tidak, bagi petani tidak jadi masalah lagi. Mereka tetap bisa bertani.
                Kalau di daerah kita, khusunya di Amuntai belum ada yang memperkenalkan, walaupun ada, hanya terbatas. Sebagaimana sudah dilakukan ibu saya di Garunggang dengan memanfaatkan elong atau enceng gondok. Ibu saya menyebutnya dengan istilah menanam padi di atas ilung.
                Adapun alat yang dipakai untuk membuat sawah terapung ini ada beberapa alternatif yang bisa dipilih, di antaranya, bahan apungnya bisa menggunakan bambu untuk siring tepi. Bambu dipotong sesuai ukuran yang diinginkan, misalnya untuk ukuran 2 m x  3 m, dan untuk lahan tengahnya digunakan sabut kelapa, jerami dan tanah. Ini cara yang digunakan para petani di Jawa. Ini cukup repot.
                Namun, kalau kita di Amuntai, bahan alam sudah tersedia. Yaitu dengan menggunakan berkah alam enceng gondok yang selama ini dianggap bala yang harus dibuang.  Cukup menggunakan tonggak kayu dan tali yang dibentang agar enceng gondok tidak bergeser. Atau, kalau sawahnya sudah berpetak-petak lebih bagus lagi walau tanpa tali, enceng gondoknya sudah terkurung. Kecuali untuk mengantisipasi banjir bisa kita gunakan tali dan tonggak kayu tadi supaya tidak hanyut di bawa arus air. Sederhana sekali kan?
                Enceng gondok yang bagus adalah enceng gondok yang tebal. Kalau selama ini petani kewalahan membuang enceng gondok dari lahan persawahannya, sekarang jangan dibuang. Cukup dikendalikan dengan menyemprot dengan bahan kimia khusus. Sampai daunnya  lapuk dan mati, diamkan beberpa hari untuk menghilangkan pengaruh bahan kimia, setelah itu baru bibit siap tanam di atas enceng gondok tersebut.

Cara Mengolah Bibit Padi



Memilih Bibit

Ada berbagai bibit padi yang bisa kita pakai sesuai dengan kebiasaan yang ditanam. Untuk kondisi sawah tadah hujan kita harus memilih bibit yang ringan, dalam arti cepat berbuah dalam waktu yang relatif singkat. Kalau berat, lambat berbuahnya, dikhawatirkan keburu datang banjir. 

Mengolah Bibit

Bulir padi  siap diolah dengan cara direndam. Sediakan tempat penampung bibit, ember atau sejenisnya. Tuangkan padi ke ember tersebut dan isi air secukupnya.  Atau bisa juga dengan cara dimasukkan ke karung, ikat ujungnya agar tidak tumpah, lalu dicemplungkan ke sesungai. Tapi, ingat harus diikat ke tongkak kayu agar tidak terbawa arus, hehehe. Biarkan selama 24 jam, atau  sesuai dengan pengalaman yang sudah ada, tergantung bibit yang digunakan, kalau bibit baru panen cukup 24 jam, kalau bibit lama yang tersimpan setahun atau lebih, merendamnya bisa sampai dua hari. 

Setelah 24 jam bibit dibangkit dan ditiriskan. Bibit siap dipadat. Alat yang digunakan adalah karung bekas semen, cukup 3 lembar. Satu untuk hamparan, dua lembar untuk tutupannya. Alat lain bisa digunakan adalah daun pisang. Bibit sisakan sedikit, masukkan ke cangkir untuk mengetahui perkambangan tumbuh tidaknya bibit.  Jika tumbuh, sudah menghasilkan kecambah, berarti  bibit  yang di dalam pengolahan bibit itu juga sudah tumbuh.

Menyemai (mangutung)

Setelah bibit  berkecambah, tahapan yang harus kita lakukan adalah mengurai bibit yang kusut agar mudah ditabur ke tempat persemaian.
Untuk persemaian kita sediakan dulu lahannya. Bersihkan lahan yang akan kita gunakan untuk menyemai. Taburkan bulanak, (lumpur) ke lahan yang sudah kita siapkan yang ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan. Setelah siap, taburkan bibit secara merata, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu jarang. Kemudian bibit tadi dipukul-pukul dengan sapu lidi atau lainnya supaya bibit tenggelam ke lumpur tadi. Setelah rata tutu dengan dengan karung semen, atau daun pisang.
Bila sudah tumbuh sekitar 3 sampai 5 jari, bukalah tutup penyemaian tadi, jika sudah tingginya sekitar sejengkal, bibit siap dipindah ke tempat lambakan.

Pembesaran Bibit (Melambak)

Bibit sudah siap untuk dibesarkan. Sediakan lahan yang cukup yang airnya sudah surut untuk bisa menampung bibit yang tingginya sejengkal tadi. Bibit padi di persemaian kita susuk menggunakan parang, golok, susuk bibit seluas setapak tangan. Letakkan bibit di tempat pembesaran tadi dengan jarak 30 cm atau sesuai keperluan. Bila bibit sudah besar dan tingginya mencapai 60 cm atau dua jengkal lebih, bibit sudah bisa ditanam di lahan persawahan biasa atau di sawah terapung.

Tuesday, June 2, 2015

Buku; Sawah Terapung



                Tahun 2015 kita dikejutkan dengan pemberitaan adanya beras pelastik sehingga memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat. Situasi seperti ini justeru memicu melonjaknya harga beras di pasaran. Bagi petani mungkin tidak terlalu khawatir dengan adanya beras pelastik ini karena mereka sudah tercukupi dengan hasil padi mereka sendiri.
                Bagi mereka yang kaya tentu harga beras yang cukup mahal tidaklah jadi persoalan, namun bagi masyarakat miskin yang kesehariannya tidak bertani, cukup kerepotan dengan harga beras yang mahal.
                Namun, kita yakin disetiap kejadian tentu ada hikmahnya. Bagi yang lama tidak bertani, mungkin bisa kembali menggarap sawahnya yang lama terbengkalai. Atau, bagi yang belum pernah bertani bisa mencoba belajar bertani. Konon, kabarnya para petani itu tubuhnya sehat-sehat, jarang sakit. Kenapa? Yang pertama lantaran ada aktivitas gerak seperti olahraga, sehingga detak jantung dan peredaran darah berjalan normal. Yang kedua, menurut hasil  penelitian ternyata kubangan lumpur sawah mengandung zat penguat daya tahan tubuh yang dialirkan dari telapak kaki. Nah, tidak salahnya kan kalau yang belum pernah bertani, mencoba bertani untuk kesehatan, sekaligus mengurangi biaya beli beras, hehehe.
                Di sisi lain, terutama di tempat tinggal saya (Panangkalaan) banyak sawah yang tidak digarap. Ada dua alas an mereka menelantarkan sawah mereka, yaitu mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk upah membersihkan sawah dari rumput liar, dan bahkan  enceng gondok. Yang kedua, lantaran harga jual padinya cukup murah, jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan hampir sebanding dengan membeli beras. Nah, kalau harga beras melonjak seperti sekarang ini, mereka pun berkeinginan lagi untuk menggarap sawahnya. Saya pun kepengin. Hehe, Beneran, kok.
                Ya, dulu saya juga pernah bertani, makanya saya menulis buku ini untuk berbagi pengalaman, bagaimana meningkatkan produksi padi dengan biaya yang murah, dan bagaimana menjadikan enceng gondok yang dianggap bala itu menjadi keberkahan bagi petani.
                Saya tergerak menulis buku ini lantaran di tempat lain, terutama di desa kelahiran saya, Garunggang, Ibu saya dan masyarakat di sana sudah lama memanfaatkan keberkahan enceng gondok untuk lahan pertanian mereka, dan hasilnya memuaskan. Mereka menanam padi tanpa harus membersihkan enceng gondok dari lahan sawah mereka, cukup disemprot dengan bahan khusus, setelah mati enceng gondoknya, mereka bertanam di enceng gondok itu walau air sawahnya masih belum surut, mereka cukup menancapkan bibit padi di sela enceng gondok itu tanpa harus menancap ke tanah. Keuntungannya ketika banjir datang, padi yang sudah menyatu dengan enceng gondok tadi ikut terangkat ke atas. Ini solusi jika banjir datang. Dan, jika airnya surut, padi pun ikut ke bawah dan akhirnya menyatu juga dengan tanah. Anehkan? Makanya ketika pengalaman ibu saya itu saya ceritakan kepada para petani di Panangkalaan, mereka tidak ada yang percaya, dan tidak ada yang mau mengerjakan seperti itu.
                Nah, untuk membuktikannya, tahun ini, 2015 saya harus menjadi pelopor bagi mereka. Saya harus bertani lagi, mereka harus melihat buktinya, dengan begitu mereka baru bisa percaya. Oleh karena itu, semua tahapan yang saya lakukan akan saya dokumentasikan secara tertulis dan dilengkapi dengan foto.

Memilih Bibit
Ada berbagai bibit padi yang bisa kita pakai sesuai dengan kebiasaan yang ditanam. Untuk kondisi sawah tadah hujan kita harus memilih bibit yang ringan, dalam arti cepat berbuah dalam waktu yang relatif singkat. Kalau berat, lambat berbuahnya, dikhawatirkan keburu datang banjir.
Senin, 1 Juni 2015 bertepatan 14 Sya`ban 1436 H, saya berangkat ke toko yang menjual bahan dan alat pertanian. Karena bibit dalam kemasan habis, aku beli bibit biasa saja, jenis R, R berapa aku lupa, termasuk ringan kata yang menjual. Sebagai bahan percobaan ½ belik cukup menurutku. Soalnya lahannya pun tidak begitu luas. Lahan yang akan saya tanami adalah sawah nenek yang sudah lama tidak digarap yang penuh dengan enceng gondok.
Mengolah Bibit
Sekitar pukul 12 siang, Senin itu, saya langsung merendam bibit. Tumpah bibit padi ke dalam jidar, lalu tuangkan air  ke dalamnya. Biarkan selama 24 jam, atau  sesuai dengan pengalaman yang sudah ada, tergantung bibit yang digunakan, kalau bibit baru panen cukup 24 jam, kalau bibit lama yang tersimpan setahun atau lebih, merendamnya bisa sampai dua hari.
Hari berikutnya, Selasa, 2 Juni 2015 setelah salat Zuhur, bibit saya tiriskan. Istilah kita, bibit siap dipadat. Alat yang saya gunakan adalah karung bekas semen, cukup 3 lembar. Satu untuk hamparan, dua lembar untuk tutupannya. Alat lain bisa digunakan adalah daun pisang. Bibit sisakan sedikit, masukkan ke cangkir untuk mengetahui perkambangan tumbuh tidaknya bibit, jika tumbuh yang di dalam cangkir berarti tumbuh juga yang di dalam pengolahan bibit tadi.
Bersambung