Bila ditanya, Anda ingin pintar menulis?
Atau Anda ingin menjadi penulis? Jauh dari lubuk hati yang terdalam, kita akan
menjawab ingin sekali. Ketika Anda melihat
artikel, cerpen di surat kabar atau majalah, di sana terpampang nama dan foto penulisnya, terbetik
dalam hati rasa kagum terhadap mereka.
Diam-diam Anda juga ingin seperti mereka. Namun, Anda tak tahu caranya, tak tahu bagaimana
memulainya. Dan, ketika Anda memulai
menulis, Anda bingung sendiri. Apa yang
harus Anda tulis, dan dari mana Anda menulisnya.
Saat
Anda mencoba menulis satu paragraf, lalu
Anda terhenti, tangan Anda berhenti mengetik, pikiran terasa buntu. Lalu Anda memponis
diri tidak mampu, tidak bisa, tidak punya bakat, dan kata-kata `tidak`
lainnya yang disandangkan ke diri sendiri.
Anda pun memponis bahwa menulis itu hanya milik orang-orang yang pintar dan
berbakat saja, menulis hanya dimiliki oleh orang yang pendidikan tinggi saja,
menulis hanya dimiliki oleh orang yang usianya sudah matang, dan berpengalaman
saja, dan kata-kata `hanya`, dan `hanya` terus tergiang dalam diri Anda yang
menandaskan diri tidak mampu.
Padahal,
andai Anda tahu bahwa mereka yang menulis itu asal mulanya seperti Anda juga,
ada rasa mender, ada rasa tidak mampu, namun
mereka menemukan cara jitu mengatasi kekurangan mereka dan akhirnya,
mereka menghasilkan tulisan, mampu menulis, pintar menulis. Apa yang mereka
lalukan itulah yang harus Anda ambil sebagai bahan pelajaran.
Coba
perhatikan, ketika Anda mencoba menulis satu kali, lalu gagal, serta-merta Anda
memponis diri Anda tidak mampu, dan Anda tidak berkeinginan mencoba lagi,
itulah kesalahan fatal yang Anda lakukan. Padahalal penulis-penulis terkenal pun mengalami hal yang sama dengan Anda.
Lalu,
apa yang mesti Anda lakukan? Ubahlah pola pikir Anda! Tadinya Anda memponis diri Anda tidak berbakat,
ubah dan tanamkan dalam pikiran Anda bahwa menulis itu tidak tergantung bakat,
atau tidak tergantung kepintaran, tetapi camkan dalam pikiran Anda bahwa menulis adalah keterampilan
yang harus dilatih, dilatih dan dilatih dengan menulis, menulis dan terus
menulis. Ibarat orang yang belajar
bersepeda, pada mulanya belum bisa, lalu mencoba, mencoba lagi, mencoba lagi
dan akhirnya bisa bersepeda. Bahkan, ketika
orang itu terus mencoba dengan gaya-gaya yang baru, tidak hanya bersepeda
biasa, mereka pun bisa bergaya, menjamping, dan mampu melakukan akrubatik yang
dirasa mustahil bagi mereka tidak pernah berlatih. Semua itu bisa mereka
dapatkan dengan latihan, kerja keras, dan pantang menyerah. Hal ini menegaskan bahwa
yang dikatakan Thomas Alfa Edison
memang benar bahwa kesuksesan seseorang itu hanya 1 persen karena bakat dan 99 persennya karena kerja keras.
Kalau
Anda sudah mengetahui cara dasarnya, dan memang seperti itu yang harus Anda
lakukan, Anda akan bisa mengatakan bahwa menulis itu gampang, menulis itu mudah
saja. Jangan sekali-kali Anda katakan lagi bahwa menulis itu sulit, menulis itu
susah. Jangan, sekali lagi jangan Anda katakan.
Suatu
ketika saya mengahadiri kegiatan ceramah Buya KH. Ahmad Ansari. Beliau
membicarakan masalah himmah. Kaitannya dengan menulis, saya sangat
tertarik mengangkatnya dalam buku ini karena ini termasuk perkara yang penting.
Himmah adalah keinginan yang menggebu-gebu, keinganan yang kuat
dari hati untuk mendapatkan sesuatu. Himmah atau keingingan diperlukan sebelum
adanya gerak untuk mewujudkannya. Ini adalah tahapan pertama yang harus kita
miliki karena tanpa itu kemungkinan tercapainya sesuatu tidak akan berhasil
secara maksimal, dan walaupun kita dapatkan tanpa keinganan sebelumnya, tentu
itu di luar kebiasaan dan suatu kemujuran itu memang ada. Namun, di sini kita
membicarakan suatu yang biasa dan lumrah dilalui oleh orang kebanyakan.
Memang
antara keinginan harus sejalan dengan kemampuan. Ada orang yang memiliki
kemampuan, tetapi tidak ada kemauan. Misalnya dalam hal menunaikan ibadah haji.
Ada juga orang yang memiliki keinginan,
tetapi belum memiliki kemampuan. Maka ibadah haji pun belum bisa dilaksanakan.
Ada keinginan dan kebetulan ada kemampuan, namun masih harus masuk daftar
tunggu. Walau demikian tentu harapan untuk bisa berangkat menunaikan ibadah
haji sudah nyata di depan mata.
Anggaplah
Anda berada pada posisi orang yang
kedua yaitu ada keinginan, tetapi belum ada kemampuan.
Namun, ingatlah bahwa dengan adanya keinginan itu membuat Anda bersemangat untuk bisa mewujudkanya, dengan
terus berusaha agar diberi kemampuan. Bukankah Anda pernah mendengar cerita
tukang bubur naik haji, tukang sayur bisa naik haji? Hal itu tidak mustahil
karena jika Allah sudah berkehendak, apa
pun bisa terjadi. Kun fayakun.
Keinginan
yang timbul dari hati itu akan menjadi doa,
semakin kuat keinginan, semakin kuat pula frekuensi yang diinginkan itu tergambar
di pikiran. Di sinilah apa yang disebut dengan kalam Allah. Jika Allah
menghendaki sesuatu, hanya dengan mengatakan jadi, maka jadilah ia.
Yang
selama ini kita pelihara adalah kelemahan jiwa, tidak berani bercita-cita, tidak berani berkeinginan
karena berpegang pada nalar bahwa hal
itu tidak mungkin bisa tertunaikan
lantaran mengingat penghasilan selama ini. Anda berkata, Ah, mana pungkin Aku
bisa menunaikan ibadah haji, sementara penghasilanku cuma cukup makan sehari.
Kalau Anda mengatakan hal seperti itu, itulah yang akan terjadi. Sama
halnya dengan Anda ingin jadi penulis,
lalu Anda katakan pada diri Anda sendiri atau atau Anda katakan kepada orang
lain, ah, mana mungkin aku bisa jadi penulis, sementara ilmuku cuma secuil, pendidikanku
tidak tinggi, aku kan bukan sarjana,
menulis itu cuma milik orang yang berbakat saja, aku tidak bisa menyisihkan
waktu untuk itu, dan berbagai alasan lain yang Anda jadikan alasan untuk
mematahkan semangat Anda sendiri.
Bermimpi,
berkeingianan, bercita-cita saja Anda tidak berani, padahal berkeinginan dan
bercita-cita tidaklah memakai biaya. Padahal jika Anda tahu, cita-cita luhur,
berkeingan yang baik adalah bagian dari ibadah, walau belum terwujudkan. Lalu,
apakah hanya sampai di situ, hanya sampai di mimpi saja? Rugi dong. Lalu?
Berani
bermimpi, bercita-cita, berkeinginan
bukanlah suatu hal main-main, tetapi suatu hal yang sangat dibutuhkan
bagi mereka yang ingin mendapatkan kesuksesan, dibidang apa saja. Karena apa
yang dicita-citakan, apa yang dikatakan, apa yang kita sangkakan itulah yang
akan ditakdirkan oleh Allah. Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman, Aku kata
Allah, sesuai dengan sangkaan hambaku. Inilah kaitannya dengan kun fayakun tadi.
Sangkaan,
keinginan yang diiringi keyakinan yang kuat akan mendapatkan sesuatu yang
dicita-citakan itu tidak hanya dimiliki oleh kita umat Islam yang beriman,
namun siapa pun bisa mendapatkannya, Allah akan memberikannnya, walaupun ia
mengingkari ayat-ayat Allah itu sendiri.
Dan, kebanyakannya justeru mereka yang tidak beriman yang banyak
mempraktikkannya. Padahal mereka tidak
berdoa kepada Allah, tapi mereka diberi Allah sesuai dengan apa yang
mereka yakini keberhasilannya. Coba Anda perhatikan ayat Alquran surah Maryam
ayat 77-79 berikut:
أَفَرَأَيْتَ الَّذِي كَفَرَ بِآيَاتِنَا
وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالاً وَوَلَداً -٧٧- أَاطَّلَعَ الْغَيْبَ أَمِ اتَّخَذَ
عِندَ الرَّحْمَنِ عَهْداً -٧٨- كَلَّا سَنَكْتُبُ مَا يَقُولُ وَنَمُدُّ لَهُ
مِنَ الْعَذَابِ مَدّاً -٧٩-
“Lalu apakah engkau telah melihat orang yang
mengingkari ayat-ayat Kami dan dia mengatakan, “Pasti aku akan diberi harta
dan anak.” Apakah dia melihat yang gaib atau dia telah membuat perjanjian
di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih? Sama sekali tidak! Kami akan Menulis apa
yang dia katakan, dan Kami akan Memperpanjang azab untuknya secara
sempurna.”
Kalau
kita perhatikan ayat di atas, orang yang mengingkari ayat-ayat Allah mangatakan
dengan penuh keyakinan bahwa mereka akan
diberi harta dan anak. Mereka begitu yakin, padahal mereka tidaklah melihat hal
yang gaib dan tidak pula mengambil perjanjian dengan Allah. Mereka cuma
mengatakan dengan penuh keyakinan saja, dan itu dicatat oleh Allah, ditetapkan
oleh Allah dan menjadi kenyataan. Namun, sangat disayangkan mereka tidak
beriman kepada Allah. Walaupun mereka mendapatkan apa yang mereka cita-citakan,
apa yang mereka katakan, tetapi azab Allah akan tetap menimpa mereka.
Nah,
orang yang mengingkari Allah saja diberi lantaran mereka berani bermimpi,
berani bercita-cita. Lalu bagaimana dengan Anda? Apakah Anda berani berkeingan
pintar menulis, berani bermimpi jadi
penulis?
Kalau
Anda memang berani bermimpi jadi penulis, bercita-cita jadi penulis, ingin
pintar menulis, sekarang bangun dan bergeraklah, wujudkan keinginginan Anda itu
dengan melakukan. Bukan hanya sekadar memiliki keinginan biasa, tetapi Anda
harus memiliki keinginan yang menggebu-gebu. Jangan ragu, Anda harus berani
memulainya. Karena langkah kedua tidak akan pernah ada kalau belum memulai
langkah pertama. Dan, kalau Anda mengalami kesulitan, ingatlah kembali bahwa
Anda memiliki keinginan, cita-cita mulia, yang harus Anda wujudkan. Yakinlah
bahwa Anda bisa, Anda mampu. Dengan keyakinan itulah Anda akan berani
mewujudkannya. Caranya? Anda jangan khawatir, saya akan membimbing Anda melalui
buku ini, terus saja simak, asal Anda mau mengerjakan apa yang saya sarankan di
buku ini. Saya yakin Anda akan pintar menulis cerpen. Anda siap?
No comments:
Post a Comment