Friday, December 27, 2013

Jurus Sakti Menjadi Penulis




                 
                Banyak orang  beranggapan bahwa menulis itu susah, menulis itu sulit. Apakah Reader termasuk orang yang beranggapan seperti itu?  
            Padahal, jika Reader tahu caranya, Reader tidak akan beranggapan seperti itu lagi. Untuk menjadi penulis, syaratnya tidak terlalu rumit.  Reader cukup  tidak buta aksara. Itulah modal dasarnya. Selanjutnya, Reader terus berlatih menulis dengan menulis. Karena menulis merupakan keterampilan, untuk mendapatkannya tidak ada cara lain kecuali  dengan banyak berlatih. Ibarat orang yang ingin jadi pendekar, sesakti apa pun jurus yang diajarkan gurunya, tanpa latihan, jurus sakti itu tak akan ada ada artinya. Begitulah dengan menulis.
            Belajar menulis, ya dengan menulis. Tak perlu banyak tanya, tak perlu banyak menyoal, tak perlu banyak beralasan. Tulis, pastinya tulisan pun ada. Persoalan belum bagus, masih banyak salahnya, tak perlu dipersoalkan. Hal itu jauh lebih bagus ketimbang tidak menulis. Menulis, nyata hasilnya tulisan. Nah, dari tulisan itulah Reader belajar. Kalau salah, tinggal perbaiki. Kalau belum bagus, menulis lagi yang lebih bagus. Kalau belum menulis, apa yang harus diperbaiki? Oleh karena itu,  menulis dulu, baru Reader tahu mana salah, mana kurangnya.
            Baik Reader! Saya akan menunjukkan jurus sakti yang harus Reader miliki agar bisa jadi pendekar, hehehe, penulis maksudnya.
             
1.      Berani Bermimpi dan Kerja Keras

            Ketika Reader melihat  artikel, cerpen di surat kabar atau majalah, di sana  terpampang nama dan foto penulisnya, terbetik dalam hati  rasa kagum pada   penulisnya. Diam-diam Reader  ingin seperti dia. Namun, Reader  tak tahu caranya, tak tahu bagaimana memulainya. Dan, ketika Reader  memulai menulis, Reader bingung sendiri.  Apa yang harus Reader tulis, dan dari mana Reader menulisnya.
            Saat Reader  mencoba menulis satu paragraf, lalu Reader terhenti,  pikiran terasa buntu. Lalu Reader memvonis diri  tidak mampu, tidak bisa,  tidak punya bakat, dan kata-kata `tidak` lainnya yang disadarkan  ke diri sendiri. Reader pun menganggap, menulis itu hanya milik orang-orang yang pintar dan berbakat saja, menulis hanya dimiliki oleh orang yang berpendidikan tinggi saja, menulis hanya dimiliki oleh orang yang usianya sudah matang, dan berpengalaman saja. Dan, kata-kata `hanya` dan `hanya` terus tergiang dalam diri Reader yang menandaskan diri  tidak mampu.
            Padahal,  penulis-penulis mahir itu pun seperti Reader juga. Awalnya, ada rasa mender, seperti yang Reader rasakan, tetapi  mereka menemukan cara jitu mengatasi kekurangan mereka. Akhirnya, mereka menghasilkan tulisan, mampu menulis, pintar menulis. Apa yang mereka lalukan itulah yang harus Reader ambil sebagai bahan pelajaran.
            Coba perhatikan, ketika Reader mencoba menulis satu kali, lalu gagal, serta-merta Reader menganggap diri Reader tidak mampu, dan Reader tidak mencobanya lagi. Itulah kesalahan fatal yang Reader lakukan.    
            Kesalahan fatal seperti itu jangan sampai menimpa Reader. Reader perhatikan  orang yang  belajar bersepeda, pada mulanya belum bisa, lalu mencoba, mencoba lagi, mencoba lagi dan akhirnya, ia pun bisa bersepeda. Bahkan,  ketika orang itu terus mencoba dengan gaya-gaya yang baru, tidak hanya bersepeda biasa, mereka pun bisa bergaya, menjamping, dan mampu melakukan akrubatik dengan berbagai gaya. Semua itu bisa mereka dapatkan  dengan latihan,  kerja keras, dan pantang menyerah.  Hal ini menegaskan  bahwa  yang  dikatakan Thomas Alfa Edison memang benar bahwa kesuksesan seseorang itu hanya 1 persen karena bakat   dan 99 persennya  karena kerja keras.
            Selama ini yang Reader pelihara adalah kelemahan jiwa, tidak berani  bercita-cita, tidak berani berkeinginan karena berpegang pada nalar bahwa  Reader tidak mungkin bisa jadi penulis  karena merasa  ilmu cuma secuil, pendidikan tidak tinggi,  menulis itu cuma milik orang yang berbakat saja, Reader tidak bisa menyisihkan waktu untuk itu, dan berbagai alasan  untuk mematahkan semangat Reader sendiri.
            Bermimpi, berkeingianan, bercita-cita saja Reader tidak berani, padahal berkeinginan dan bercita-cita tidak memerlukan biaya.  Reader tahu, cita-cita luhur, berkeingan yang baik adalah bagian dari ibadah, walau belum terwujudkan. Lalu, apakah hanya sampai di situ, hanya sampai di mimpi saja? Rugi dong. Lalu?  
            Kalau Reader memang berani bermimpi jadi penulis, bercita-cita jadi penulis, ingin pintar menulis, sekarang bangun dan bergeraklah, wujudkan keinginan Reader itu dengan melakukan.
            Siapa pun Reader, apa pun profesi Reader, dan berapa pun usia Reader, dan apa pun latar belakang pendidikan Reader, asal Reader bisa membaca dan menulis dan mau berlatih dan bekerja keras, pasti bisa menjadi penulis. Orang dikatakan penulis bukan karena usianya, bukan karena pendidikannya, tetapi karena tulisannya.
            Dalam konteks belajar menulis, Reader tak perlu pusing  memikirkan apakah  Reader berbakat atau tidak, langsung saja Reader menulis dan menulis sampai pintar  menulis. Tidak ada hal sia-sia walaupun awalnya Reader salah, dari situlah Reader  tahu bahwa itu  salah.
            Oleh karena itu, bagi Reader yang merasa tidak memiliki bakat menulis, jangan takut dan ragu untuk menjadi penulis. Banyak penulis ternama saat ini,  dulunya, mereka tidak mengetahui diri mereka berbakat atau tidak. Yang mereka lakukan adalah terjun dan menyelam langsung dalam dunia kepenulisan, di mana pun, kapan pun. Mereka sadar sepenuhnya bahwa kesuksesan itu akan bisa dicapai dengan kerja keras. Menulis dan terus menulis.            
            Ini yang perlu Reader camkan dalam pikiran. Selama ini Reader menganggap bahwa menulis itu cuma bisa dimiliki oleh orang yang berbakat saja, harus ini, harus itu. Padahal anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Asumsi semacam itu perlu Reader ubah. 
            Reader merasa tidak berbakat, tidak ada potensi. Itu tidak benar karena Reader dan kita semua memiliki potensi yang sama, yaitu diberikan otak, pikiran. Potensi itulah yang harus Reader gunakan. Bakat tidak akan ada artinya kalau Reader tidak berlatih menulis dengan menulis, dan terus berlatih menulis.
            Reader merasa mender  karena jenjang pendidikan cuma lulus SD? Jangan mender, menulis bukan tergantung jenjang pendidikan, tetapi dari kemauan dan kerja keras. Potensi otak itulah yang harus dimanfaatkan. Reader tahu bahwa menulis itu adalah keterampilan setingkat SD. Bukankah Adam Malik yang pernah menjadi Wapres RI itu, cuma sampai kelas lima SD? Namun, beliau sangat mahir dalam mengarang. Jenjang pendidikan tidak perlu terlalu dipikirkan karena pengetahuan bisa diraup tidak hanya di bangku sekolah kan? Banyak cara bisa ditempuh untuk memperolehnya. Pengetahuan yang ada di otak itulah yang kita tulis, apa pun bentuknya; artikel, buku,  cerpen, dan sebagainya.
            Ratna Indraswari Ibrahim (almarhumah), beliau banyak menerima penghargaan di bidang kepenulisan lantaran karya-karya beliau. Beliau tidaklah seberuntung orang kebanyakan. Beliau cacat dan tidak bisa menggunakan tangan untuk menulis.  Beliau menulis hanya di otak dan meminta  orang lain untuk menuliskan gagasan-gagasan beliau dalam bentuk cerpen. Ini luar biasa, beliau yang cacat saja bisa berkarya, lalu bagaimana dengan Reader  yang diberi kesempurnaan fisik? 
            Jadi, mulai sekarang  jangan takut dengan tulisan yang kacau, jangan malu kalau tulisan Reader masih belum bagus. Hal itu wajar saja karena Reader baru belajar. Jangan cemas, teruslah berlatih menulis dengan menulis. Saya yakin Reader pun akan piawai menulis.
            Saya sering mengingatkan  teman-teman yang ingin belajar menulis, lawanlah rasa takut itu dengan menulis. Ingatlah  falsafah bayi! Coba Reader perhatikan bagaimana pertumbuhan dan perkembangan bayi. Apakah ia langsung bisa berdiri dan berjalan, bahkan bisa berlari? Tidak kan?  Ketika  anak baru belajar berjalan ia mencoba bangkit dari duduknya. Ia pun terjatuh, namun ia coba bangkit lagi. Ia tak pernah mengatakan  berdiri itu susah. Ia tidak mengenal  kata susah, yang ia kenal hanya coba dan coba lagi, ia hanya mengenal bahwa ia harus bisa berdiri. Setelah ia bisa berdiri, ia coba melangkah satu langkah, kemudian jatuh, tetapi ia tak pernah menyerah. Akhirnya, ia pun bisa berjalan. Bahkan, sekarang sudah bisa berlari.
Ingatlah ketika pertama kali Reader memiliki  hp dan belajar mengetik sms!  Apa yang pertama kali Reader rasakan? Awalnya susah, tetapi Reader tak pernah berhenti.  Akhirnya, Reader mahir menggunakan hp Reader sendiri. Bahkan, ketika menyetir atau berkenderaan Reader tidak kesulitan melakukannya. Tangan Reader seolah melihat huruf-huruf  di tuts hp. Seperti itulah yang harus Reader lakukan  kalau memang Reader berkeinginan jadi penulis.
            Jadi, kalau pertama kali berlatih menulis, wajar saja Reader salah, wajar saja belum bagus. Ketahuilah penulis tenar pun awalnya seperti Reader. Namun, mereka tak pernah menyerah, tak pernah takut tulisan mereka tidak bagus, mereka terus menulis, dan terus menulis, begitu pula dengan Reader. Yakinlah Reader juga bisa seperti mereka.

2.      Perlu Motivasi          
Motivasi  adalah pendorong   melakukan sesuatu. Ibarat kerita api, motivasi adalah lokomotifnya,  mesin penggeraknya. Kalau timbul rasa malas, atau Reader sedang tidak mood.  Tanya diri, mengapa Reader harus menulis?
            Motivasi atau alasan mengapa orang menulis bermacam-macam. Apa pun bentuknya, tidak jadi persoalan, yang penting dengan motivasi itu Reader bisa bersemangat menulis.
            Apa pun motivasinya, semuanya bagus dan baik, selama menulis itu tidak  bermaksud  menyebar fitnah, membuat perpecahan, dan mendidik kepada akhlak yang buruk. Dan, akan lebih afdhal lagi  kalau menulis itu dilandasi niat ikhlas karena Allah.
            Atau begini, agar mood tetap terjaga, Reader bisa memakai teori yang ditawarkan  buku Quantum Learning, yaitu teori AMBAK (Apa manfaatnya bagiku). Dengan bertanya begitu  Reader tentu akan menggali apa gerangan manfaat menulis itu buat Reader. Bagi pemula, tentu manfaatnya adalah memfasihkan menulis itu sendiri. Minimal Reader akan terlatih mengetik, dan hafal letak huruf-huruf   di tuts laptop Reader.
            Dengan menulis, Reader bisa berbagi informasi, bisa mendapatkan banyak teman, mengikat pengetahuan  dan wawasan pun  bertambah,    dapat  menghilangkan kerak-kerak  otak,   berperan mencerdaskan orang lain,   berdakwah, hati pun gembira, dan seterusnya. Intinya, manfaat  menulis  sangat banyak buat Reader. Silakan Reader  menggalinya lebih lanjut. Dengan mengingat manfaat tadi, Reader akan termotivasi lagi menulis, dan terus menulis.           
           
3.      Memenej Waktu dan Melawan Diri
           
            Menulis memang sebuah pilihan, saya tidak bisa memaksa Reader harus menulis karena menulis dan tidak menulis itu pilihan Reader. Reader sendiri yang menentukan  mau menulis atau tidak. Ketika Reader memang ingin jadi penulis, hilangkanlah alasan tak punya waktu, hilangkan alasan sibuk.
            Kalau sibuk yang menjadi alasan tidak menulis, Apakah Reader  lebih sibuk dari Rektor UIN Malang, Pak Imam Suprayogo? Lalu mengapa beliau bisa menulis  setiap hari setelah salat Subuh? Karena beliau  mewajibkan diri, melawan diri, memenej diri untuk  menulis pada waktu itu.
            Kalau Reader hanya menggerutu dengan kesibukan, dan tidak bisa menyiasati kesibukan, saya jamin,  mimpi Reader jadi penulis akan terkubur dalam tidur panjang Reader.
            Jadi, kalau memang Reader berpikir bisa, pasti bisa karena Readerlah yang menyudahinya, mau atau tidaknya melakukan dan melatihnya, serta mengatur waktu. Waktu akan terus berputar dan berlalu begitu saja. Saya tidak bisa memaksa Reader  harus menulis tengah malam, atau setelah salat subuh seperti yang dilakukan Pak Imam, atau  disela-sela kesibukan,  sekali lagi saya tidak bisa memaksa Reader.  Memenej waktu itu urusan Reader sendiri, terserah kapan Reader menentukan waktunya. Tentukan sendiri kapan Reader mau, silakan. Setelah itu, disiplinlah mengisi waktu yang sudah Reader tentukan tadi dengan menulis.
             Menulis itu tidak tergantung suasana yang ada di luar diri Reader. Waktu tenang atau ribut, asal mau mencoba menulis, pasti bisa menulis. Misalnya, menulis  sambil menonton TV, kalau mau melakukan, bisa juga. Ini karena menulis tidak mesti tergantung suasana tenang. Ketenangan itu ada di diri Reader. Saat orang  ribut,  Reader bisa menulis karena Reader bisa membuat ketenangan itu dalam pikiran Reader  sendiri, pasti menulis lancar-lancar saja.
            Jadi, bagi Reader yang berkeinganan menulis, tak perlu terbeban dengan kesibukan, menulislah ketika ada kesempatan, kapan saja, di mana saja, Reader bisa menulis, merdekakanlah pikiran Reader dari semua beban itu, niscaya Reader bisa menulis. Lebih-lebih Reader yang tidak sibuk.
            Untuk mencapai  keterampilan semacam itu, yakni menulis kapan dan di mana saja, juga tidak serta merta didapat, tentu dengan dicoba, diuji pada diri sendiri, dilatih dan dilatih. Nah, kalau Reader belum pernah mencobanya, bagaimana Reader bisa mengatakan bahawa Reader mampu melakukannya. Lakukan dulu, dan yakinkan Reader bisa menulis dalam waktu yang Reader tentukan, setelah itu, coba  keluar dari  kebiasaan Reader.
           
4.      Posisikan Diri Sebagai Pembelajar
           
            Ungkapan pembelajar menulis, sepertinya lebih memotivasi  untuk terus belajar.  Kemudian ditunjang dengan banyak membaca; membaca buku, membaca cerpen, artikel  karya orang lain, membaca dalam artian memperhatikan lingkungan sekitar. Dari situ kita  mendapatkan ide menulis.
            Jadi, kalau Reader ingin menulis, tulis saja, tak perlu takut mengambil langkah pertama. Karena dengan mencoba langkah pertama, Reader akan  belajar  dari  apa yang  sudah Reader lakukan di langkah pertama tadi. Oleh karena itu,  jadilah pembelajar  terus-menerus walaupun Reader sudah pintar menulis.
            Oke, Reader! Cukup sampai di sini dulu jurus yang bisa saya ajarkan. Insyaallah, akan kita lanjutkan dengan jurus-jurus yang lain. Selamat berlatih!

Tuesday, April 16, 2013

Mulailah Berkarya



HARI KELIMA
 MULAILAH  BERKARYA
           
            Dengan bekal  pengetahuan dari hari pertama sampai hari keempat, saya yakin Anda sudah bisa memulai menulis cerpen karya sendiri. Pola pikir Anda sudah terbentuk dengan baik. Cara jitu mendobrak pintu kesulitan menulis sudah Anda pahami. Membaca cerpen sebanyak-banyaknya sudah juga Anda lakukan.  Membedah cerpen dan menceritakan kembali dengan bahasa sendiri sudah Anda laksanakan. Kini,  tinggal  bagaimana Anda mewujudkan mimpi Anda menjadi penulis cerpen dengan mulai berkarya sekarang juga.
           

5.1 Yang Dilakukan Sebelum Menulis
            Baiklah, untuk membantu Anda saya coba mengingatkan kembali bahwa menulis perlu penguasaan mental yang kuat, semangat yang membaja, pantang menyerah, dan tak pernah putus asa. Ini yang harus Anda persiapkan. Saya yakin Anda sudah mantap kan? Anda harus punya keyakinan bahwa Anda mampu, Anda harus bisa.
            Sebelum Anda mulai berkarya, Anda pilih tema yang benar-benar Anda kuasai. Boleh saja Anda berpikir cerpen dengan tema yang hebat, ide cerita yang  luar biasa. Namun, kalau tema itu belum Anda kuasai Anda akan terkendala lagi. Kalau memang Anda  berisi keras juga, terpaksa Anda harus mematangkan pengetahuan Anda tentang masalah yang akan Anda angkat menjadi cerpen. Cari informasi yang secukupnya, baik melalui buku, surat kabar, majalah, maupun internet.
            Menulis cerpen tidak hanya fiktif belaka, Anda juga harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengangkat suatu masalah dalam bentuk cerpen. Karena dalam cerpen pun ada fakta. Misalanya kalau Anda ingin menggambarkan latar  Candi Perambanan, tentu harus mengetahui, begitu juga jika Anda ingin mengangkat masalah  filsafat atau tasauf dalam cerpen, Anda harus menguasai pengetahuan tentang itu. Kalau Anda ingin mengangkat tetang robot, Anda harus mengerti betul tenatnag itu. Atau Anda ingin mengangkat masalah keadaan negara di luar negeri. Jadi, ide hebat harus Anda imbangi dengan pengetahuan.
           


            Namun, sebagaimana saya katakan tadi, tidak ada salahnya Anda berkeinginan  mengangkat ide-ide hebat, malah bagus. Selama ada kemauan, pasti ada jalan, ya jalannya Anda harus matangkan dan gali lagi informasi sebanayak-banyaknya tentang masalah yang akan Anda Angkat kedalamn cerpen sehingga cerpen Anda akan terasa hidup.

            Sebagai pemula, ide cerita  yang diambil dari pengalaman pribadi tentu akan lebih mudah kita ungkapkan karena memang sudah Anda kuasai, tinggal meramunya dangan tambahan imajinasi Anda. Namun, tidak ada salahnya Anda mencari ide cerita dari pengalaman orang lain. Atau Anda menemukan ide cerita setelah menonton senetron, membaca berita, membaca cerpen karya orang lain, atau Anda melihat peristiwa langsung. Misalnya Anda melihat pengamen jalanan, lalu Anda tergelitik mengangkatnya menjadi sebuah cerpen. Anda melihat ada seorang pengemis tua, lalu Anda terpanggil menulis masalah itu. Banyak sumber ide cerita yang bisa Anda angkat menjadi sebuah cerpen. Tinggal Anda berusaha terus mengasah kepekaan Anda.
            Baiklah,  Anda  menemukan ide cerita dari pengalaman Anda yang menarik, misalnya tentang berlibur ke pantai bersama keluarga, atau persahabatan ketika bersekolah.
            Nah, dari situ Anda sudah menemukan latarnya, di sekolah atau di pantai. Latar kejadian, baik tempat, waktu dan suasanyanya seperti itu sudah Anda rancang sebelum menulis. Bisa Anda tulis di kertas catatan, atau Anda simpan di otak saja. Misalnya Latarnya di hutan, suasananya mencekam, waktunya tengah malam gelam gulita.
            Selanjutnya Anda ciptakan tokoh dan karakter tokohnya, namanya siapa? Karakternya bagaimana?             Karakter tokoh bisa meliputi tampilan fisik,  kesukaannya, jahat, atau baik.
           
            Nilai-nilai yang akan Anda usung dalam menulis cerpen perlu juga Anda tentukan, misalnya Anda ingin memnyampaikan nilai keagamaan, akhlak mulia  melalui cerpen. Hal ini dibutuhkan untuk menentukan media mana yang bisa menerbitkan cerpen Anda.
            Sudut pandang Anda dalam bercerita, sudah Anda persiapkan. Apakah Anda sebagai pencerita saja, atau Anda terlibat langsung sebagai tokoh dalam cerita.

            Setelah semua Anda rancang, Anda buat ringkasan cerita sebagaimana pembahasan pada bedah cerpen, atau bisa kita bilang kerangka alurnya. Caranya bayangkan saja  pengalaman menarik Anda tadi, kemudian tulislah dengan teknik menulis cepat seperti yang sudah kita praktikkan di Bab kedua.
            Urutan rancangan ini tidak mengikat, Anda bisa saja mendahulukan ringksan cerita secar bebas, baru Anda memikirkan sittingnya, tokoh dan karakternya.
            Ada bentuk lain yang bisa Anda pakai selain cara menulis cepat dalam membuat kerangka alur cerita ini. Yaitu dengan menggunakan peta pikiran. Peta pikiran juga sangat mujarab karena sesuai dengan pola otak manusia. Yaitu dengan memulai menuliskan ide sentral atau tema yang akan anda angkat di tengah-tengah kertas, lalu Anda beri cabang-cabang sebanyak yang Anda mau, tulislah kejadian apa saja yang dialami tokoh di cabang-cabang itu.

 




            Setelah semuanya beres, Anda tinggal mengembangkannya dalam bentuk cerpen utuh.

5.2 Saat Menulis
            Saat Anda menulis, apa yang harus Anda lakukan? coba Anda perhatikan lagi, Bab kedua. Anda jangan terpaku pada kerangka, kerangka yang Anda buat hanyalah sebagai acuan untuk mengikat  ide supaya jangan tercecer. ketika Anda mulai menulis merangkai kata mengemabngkan ide, mengemabngkan alur cerita Anda bebas saja, mulai dari mana saja, lupakan dulu aturan ini itu, alirkan saja apa yang Anda rasakan dan Anda pikirkan. Bayangkanlah Anda curhat, bercerita di depan teman Anda, Anda tak perlu berpikir apa yang Anda ceritakan itu  baik atau jelek, yang penting Anda bercerita dalam bentuk tulisan. Dan usahakan Anda bercerita tuntas dalam satu kali duduk.
            Kalau sekali duduk, tidak sanggup, Anda bisa membaginya  beberapa waktu. Namun, usahakan Anda punya target yang jelas berapa waktu yang Anda butuhkan untuk menyelesaikan satu cerpen. Dan, ingat apabila sudah selesai, jangan langsung Anda kirim ke penerbit. Anda  akan melakukan proses berikutnya. Yaitu proses penyuntingan.  Masalahnya, tulisan Anda tentu ada yang harus dibenahi dan disempurnakan karena pasti ada salah ketik, salah tanda baca, dan sebagainya.
            Sebelum melakukan proses penyuntingan, lakukan pengendapan dulu. Maksudnya Anda ambil jarak, tinggalkan cerpen Anda, jangan Anda baca dulu cerpen Anda sehari atau dua hari, supaya ketika Anda membaca cerpen Anda seolah membaca cerpen karya orang lain, dari situ Anda akan jeli melihat kekurangan cerpen yang Anda buat.  
           
5.3. Menyunting Tulisan
            Inilah saatnya Anda mengamini keinginan Anda waktu menulis sebelumnya. Yaitu keingainan memperbaiki yang salah, keiinganan memperbaiki yang tidak bagus.
            Pada tahap penyuntingan ini, pengetahuan  tentang kebahasaan tentu saja harus Anda miliki.  Namun, Anda jangan khawatir kalau pengetahuan tentang kebahasaan Anda masih minim. Mengedit tulisan, tidak perlu harus menguasai keseluruhan  ilmunya, yang penting ada kemauan menulis, dan ada hasil tulisan yang akan Anda edit. Anda  sebenarnya bisa belajar dari pengamatan tampilan cerpen yang Anda baca. Bagaimana orang menyusun kalimat, dan penulisan dialog, tanda baca yang digunakan orang, penulisan huruf kapital yang benar, penulisan pertikal yang tepat, bisa Anda pelajari dari tampilan cerpen yang  Anda baca yang ada di surat kabar.
            Nah, sebagai pembelajar Anda tak perlu segan dan malu membuka buku EyD, buku yang memuat kata baku dan tidak baku, dan kamus  saat menemukan  keraguan dalam  proses penyuntingan. Apabila hal ini sering Anda lakukan, tentu akan meningkatkan pengetahuan Anda sendiri tentang aturan kepenulisan.
            Anda  bisa juga meminta bantuan orang lain untuk mengedit tulisan Anda. Setelah diedit Anda bisa mengetahui apa saja kesalahan dan kekurangan tulisan Anda. Ya, Anda belajar dari kesalahan, dengan begitu Anda akan ingat selamanya.
            Kalau masalah kata baku dan tidak baku dalam cerpen,  tidak terlalu bermasalah. Cerpen boleh saja tidak menggunakan kata tidak baku terutama pada dialog.
            Biasanya yang sering saya jumpai dalam penulisan cerpen adalah masalah tanda baca, penulisan kata depan, pertikel lah dan pun, huruf  capital pada kata pengacuan dan sapaan untuk kekerabatan.
            Perlu juga Anda ketahui proses penyuntingan bukan hanya sekadar memperbaiki kata yang salah ketik, tanda baca yang tidak tepat, huruf kapital yang belum pas, tetapi Anda perlu juga melihat kelogisan tulisan. Dalam cerpen ada yang disebut alur atau plot dan sitting. Tempat kejadian cerita harus logis, begitu pula dengan alur atu plotnya.
            Mengenai alur atau plot ini ada yang menganggap sama pengertiannya, namun ada yang menganggap berbeda. Alur lebih menekankan pada rangkaian peristiwa atau kejadian yang dialami sang tokoh berkaitan dengan kronologis waktunya, ada alur  lurus atau maju, kilas balik, dan campuran tanpa melihat hubungan sebab akibat. Sedangkan plot  adalah kejadian yang dialami sang tokoh dengan melihat hubungan sebab akibat. Di sinilah kelogisan sebuah cerita fiksi harus tetap terjaga dan konsesten dengan cerita nyata. Misalnya tokoh mati lantara kejatuhan polpen, ini plot yang tak masuk akal. Walau dalam fiksi hal itu boleh-boleh saja, namun terlalu mengada-ada.
            Sama halnya dengan sitting, Anda sebenarnya bebas saja berkhayal  mengembarakan imajinasi Anda ke mana pun tempat bisa Anda kunjungi dengan daya imajinasi Anda. Namun, tetap menjaga konsestensi kelogisan sebagaimana di dunia nyata. Misalnya Anda mendeskripsikan kota Jakarta ada di Pulau Kalimantan, tentu saja hal ini bertentangan dengan kenyataan. Hal ini yang perlu dihindari, dan kalau ada ketidaklogisan semacam itu, harus Anda perbaiki.
            Dalam proses penyuntingan Anda juga perlu mempertimbangan cerpen yang Anda tulis akan dibaca oleh siapa dan diterbitkan di mana. Kalau  sasaran pembacanya adalah anak-anak, usahakan jangan sampai ada kata-kata yang mengandung unsur pornografi, kekerasan. Begitu pula dengan surat kabar yang mensyaratkan tulisan yang akan dimuat tidak boleh mengandung unsur Sara, maka jika ada hal itu yang ada dalam tulisan Anda, harus Anda hilangkan.
            Proses penyuntingan ini sangat penting karena naskah yang kita sunting dengan maksimal menunjukkan bahwa kita memang maksimal berusaha dalam berkarya, bukan  asal-asalan.