Thursday, December 13, 2012

Cerpen, RAHASIAKAN JATI DIRIKU




             Tetesan embun masih membasahi rerumputan  di kiri - kanan jalan yang aku lalui,  burung  jalak, perkutut, melantunkan lagu kedamaian, mengiringi  hembusan angin perlahan.
 Ah…sudah lama aku tidak melewati jalan ini, begitu sepi, beda dari lima tahun sebelumnya,  biasanya jam segini sudah  ramai dilalui orang.
Sepuluh meter dari tempatku berdiri, ada bangku panjang yang tertancap kokoh di bawah rindang dedaunan.   Aku coba istirahat di bangku itu.
            Tidak jauh dari tempat dudukku ada seseorang yang duduk membelakangiku, kepalanya menunduk, aku dengar sayup-sayup isak tangis, sementara derai  daun pohon yang ditiup angin menambah suasana  pilu.
            Aku membatin, kejadian apa yang menimpa dirinya, sehingga dia bermuram durja seperti itu,  kehilangan anak, atau ditinggal mati suaminya barangkali, atau kematian anak yang dia sanyangi atau ditinggal sang kekasih, atau, atau, atau. Aah… ngapain aku tanya dalam hati, lebih baik aku hampiri saja dia.
            “Maaf  Nak, apa gerangan yang membuatmu bersedih?”
 Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. “Dimana rumah mu biar bapak antar pulang. Tidak baik seorang gadis sendirian di sini, berbahaya!”
 Berbagai pertanyaan yang aku lontarkan, tidak satupun ia jawab, hanya tangis sebagai jawabannya.
            Karena masih penasaran, keesokan harinya, aku lewat di jalan itu lagi, ternyata gadis itu masih ada di tempatnya seperti kemaren, aku bertanya dalam hati, apakah dia tidak pulang?, atau dia pagi- pagi sudah berangkat dari rumah dan duduk-duduk di tampat ini, melepaskan kesedihannya. 
            Nak.., setiap ada malam, pasti ada siang, tidak selamanya gelap. setiap kesusahan pasti ada kemudahan, tidak ada permasalahan yang tidak mungkin diselesaikan,  kalau kita mau berbagi dengan orang lain, coba ceritakan apa masalah yang kau hadapi, dengan begitu, dapat mengurangi beban penderitaanmu.
            Ia mengangkat wajahnya, menatapku. Mulutnya bergetar, kata-katanya terbata: “ A,a,aku”, ia terisak.
 “Tidak ada seorang pun yang dapat meringankan penderitaanku, tidak ada seorang pun yang dapat menonolongku, bahkan semua orang di kampung ini mencela, menghinaku. Mereka tidak salah kalau mereka menghina dan  mencelaku karena memang aku pantas dihina dan dicela. Aku sangat menyesal, penyesalan yang tak ada ujungnya”.
            “Memangnya apa yang terjadi?”
            “Berat, sangat berat, dosa yang aku perbuat sangat besar, mungkin sudah memenuhi langit dan bumi”. Ia menunup wajahnya dengan kedua tangannya, ia senggugukkan.
“Dosaku tak terampuni, aku sudah menjadi seorang pembunuh” Ia semakin terisak, “aku sudah membunuh darah dagingku sendiri”.
            “MasyaAllah, Innalillah” sentakku
            “Dosa di atas dosa Pak, aku hamil di luar nikah, orang yang menghamiliku tidak mau bertanggung jawab, aku menanggung malu, aku putus asa, akal sehatku tidak jalan lagi sampai akhirnya, aku nekat bunuh diri dengan memotong urat nadi tanganku, namun aku masih tertolong, sampai akhirnya aku melahirkan, aku menyesal dan malu, punya anak tanpa ayah, aku tidak berpikir panjang, anak yang baru aku lahirkan yang tak tahu apa-apa, tidak berdosa,  aku buang ke sungai”. Tangisannya makin memilukan.
            “Tidak ada orang yang tidak pernah berbuat dosa Nak, Karena kita adalah tempat salah dan hilap. Sebesar apapun dosa yang kita perbuat, sungguh rahmat dan ampunan Allah sangat besar dan luas melebihi dosa yang kita perbuat. Penyesalan yang kau tunjukkan adalah bukti penyadaran terhadap kesalahan. Selama kita mau bertobat dengan sungguh. Allah akan menerima tobat dan mengampuni kita”
            “Benarkah?, aku bisa terampuni”
            “Asal kita mau bertekad untuk memperbaiki diri, aku yakin Allah akan mengampunimu, mohon ampun dan bertobatlah, kembalilah kepada Allah.           
                        ****
            Semenjak pertemuan itu aku tidak pernah melihatnya lagi duduk di tempat itu.  Dua bulan berselang, aku bertemu dengannya di tempat yang berbeda, di pasar,  aku melihat perempuan itu  penampilannya tidak lagi seperti orang kebanyakan, ia berpenampilan seperti orang  abnormal.
Apa yang terjadi?
****
“Aku memang sudah berubah, Pak. Aku coba memperbaiki diri. Dan inilah hasilnya, sebagaimana yang Bapak lihat”.
“Ya, aku mengerti kamu memang sudah berubah, tapi mengapa harus seperti ini?”
 Begini, waktu itu tepat jam dua dinihari, seperti biasa aku melaksanakan shalat tahajjud, sebagaimana yang Bapak anjurkan, setelah shalat aku mohon ampun kepada Allah, aku ucapkan astaghfirullah dengan penuh penyesalan, aku menangis mengingat dosa-dosa yang pernah aku lakukan. Tiba-tiba, tubuhku seperti melayang, berputar  masuk sebuah lorong yang gelap,  bau anyir darah dan bangkai menyeruak masuk  penciumanku, perutku mulai mual, bergolak dan akhirnya menguras seisi perutku.
Tubuhku berhenti berputar,  ternyata tubuhku semakin ringan, aku melayang seperti kapas, terus melayang sehingga aku tiba di ujung lorong.
Aku melihat secercah cahaya, dari kejauhan, kecil seperti bola, tapi  cukup untuk menerangi sekitarnya, cahaya itu  menuju ke arahku, semakin dekat, cahaya itu semakin membesar, membesar dan membesar, sampai akhirnya pecah di hadapanku, membentuk tujuh buah bola cahaya.
Satu persatu bola cahaya bergerak ke arahku. Bola cahaya pertama masuk  dan bersemayam di kepalaku, terasa dingin, bola cahaya kedua bersemayam di dua tanganku, bola cahaya ketiga merasuk  pada kedua kakiku,  yang keempat bersemayam di perutku, bola kelima meresap di kedua mataku, bola keenam mengendap di kedua telingaku. Tubuhku semakin menggigil. Tiba pada bola yang terakhir.  Ia bergerak surut ke belakang dan berputar, aku mengira ia akan meninggalkanku, ternyata ia hanya mengambil ancang-ancang untuk melakukan serangan.
Di luar dugaanku, ternyata benturan keras bola itu mengilangkan rasa dingin di tubuhku. Namun, dadaku terasa remuk.
Aku berusaha bangkit. Aku terus berusaha, sampai akhirnya aku berhasil berdiri. Ketika aku berhasil tegak dengan kedua kaki yang belum seimbang, bola itu menghantam dadaku lagi, akhirnya aku tersungkur lagi.
Aku merasakan nyeri yang teramat sangat. Aku pasrah. Tidak ada kekuatan lagi yang bisa aku kerahkan untuk berdiri, disaat aku tersungkur  dan merasa tidak berdaya,  tidak  ada lagi kemampuan yang bisa aku upayakan, bola cahaya berhenti menyerangku.
Perlahan namun pasti, cahaya itu mulai bergerak lagi ke arahku, Saat-saat yang mendebarkan, mungkinkah  ajalku akan tiba?  Cahaya itu terus bergerak. Ketika cahaya itu sampai persis di hadapanku, ia  berhenti, kemudia berputar mengelilingiku sebanyak tujuh putaran, kemudian kembali ke hadapanku.
Jantungku berdetak kencang, nafasku memburu, aku  pasrah dengan kemungkinan yang terburuk yang akan menimpaku.
Tiba-tiba bola cahaya itu berputar  sangat cepat sehingga menimbulkan bunyi yang sangat memekakkan telingaku. Aku tidak sanggup menutup  kedua telingaku, karena aku sudah tidak berdaya. Tangan dan kakiku tidak sanggup aku gerakkan, cahaya itu terus berputar di porosnya sampai mengepulkan asap yang tebal sehingga asap itu menyelimuti tubuhku dan   menutupi  pandanganku.
Perlahan asap mulai menipis, bunyi bising mulai berkurang. Perlahan  asap tadi berubah menjadi cahaya dan membentuk sesosok tubuh. Alangkah terkejutnya aku, sesosok  tubuh itu  ternyata diriku sendiri. Allahuakbar… subhanallah..., masyaallah.
Aku terus menyungkur dan merasakan ketiadaan.     Ketika aku memandang langit, wajahku ada disitu. Ketika memandang bulan dan bintang yang indah ternyata wajahku juga ada di situ. Dalam jilatan api yang menyala,   di setiap tangisan bayi, disetiap tawa, canda dan kesedihan, siang dan malam,  di setiap warna, di setiap sudut, ruang dan waktu.  Allahuakbar…..
            Aku merasakan kesejukan, kedamaian abadi. Namun, setelah aku kembali pada puncak kesadaran. Akal dan jiwaku memaksaku untuk menyembunyikan jati diriku yang sebenarnya. Aku diperintahkan menjadi manusia abnormal, agar senantiasa merasakan  kelemahan, rasa hina, dan selalu berhajat kepada Sang Pencipta jagat raya.  Begitulah Pak, hanya Bapak yang tahu ceritaku ini, Tolong rahasikan jati diriku.

Kiat Menulis, Tulis Saja, Jangan Takut Salah


Kiat Menulis, Tulis Saja, Jangan Takut Salah
Haderi Ideris
                Aktivitas menulis, menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan  bagi sebagian orang dianggap sulit, apalagi menulis cerpen. Katanya kalau menulis  cuma cumut sana, kutip sini, tanggapi sedikit, diulas menurut pendapat sendiri, jadi deh tulisan. Kalau seperti  itu katanya tidak terlalu mengagumkan. Katanya lagi beda dengan cerpen, yang masuk pada ranah fiktif, harus memerlukan daya khayal yang tinggi. Nah, imajinasi ini  yang menurut sebagian orang dianggap sulit. Ketika orang tersebut bisa membuat karya fiksi seperti cerpen, novel,  katanya sungguh mengagumkan. Benarkah?

                Barangkali  ada benarnya juga, namun, bagi saya aktivitas menulis apa pun, fiksi  maupun non-fiksi  sama-sama mengagumkan. Pasalnya, kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk, masih secuil  orang yang mau dan mampu menulis. Padahal ketika ditanya, apakah Anda ingin bisa menulis?  Dari lubuk hati, kita akan menjawab, tentu saja ingin. Namun, disayangkan masih sebatas ingin. Akhirnya, keinginan itu terkubur  bersama mimpi,  tak mungkin terwujud dalam kenyataan. Berbeda dengan mereka yang melakukan, menulis, lalu menulis lagi, dan terus menulis. Hasilnya nyata, berupa tulisan.

                Bagi yang ingin menulis, tulis saja, jangan takut salah, jangan takut dikritik, jangan takut dicemooh. Namanya juga belajar, orang yang belajar wajar saja salah. Salah bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diperbaiki.  Kalau menulis mamatok harga mati harus langsung bagus, saya yakin justru hal itu akan membelenggu diri sendiri, sedikit-sedikit salah, kalau tahu salah, dicoret, sedikit-sedikit kita menganggap tulisan kita tidak bagus, akhirnya malu mempublikasikan. Kalau anggapan seperti ini yang kita pelihara,  bisa dipastikan satu tulisan pun tidak akan pernah selesai.

                Solusinya, tulis saja dulu,  masalah bagus tidaknya, itu perkara nanti, yang penting  dalam pikiran kita tulisan  itu harus selesai.  Dalam proses belajar, terus saja menulis, karena sejelek-jelek tulisan,  sehancur-hancur tulisan, pasti  ada saja kandungan manfaatnya, paling tidak, kita sudah menghasilkan tulisan walau masih jelek. Ya toh?

                Perlu diingat kalau tulisan sudah kita anggap selesai, jangan malu mempublikasikan. Karena sejelek apapun tulisan kita, pasti ada yang suka. Dan sebagus apa pun tulisan yang dihasilkan, pasti ada juga orang yang tidak suka. Jadi, bagi yang berkeinginan kuat mewujudkan mimpinya jadi penulis, fokuskan diri  untuk terus menulis, jangan hiraukan gangguan kiri-kanan kita. Dan publikasikanlah.

                Sekarang,  mempublikasikan tulisan sangat mudah. Posting di fesbuk, tulisan kita pun akan nampang, dan bisa dibaca banyak orang. Jangan takut tidak dibaca, yang penting  berani mempublis tulisan. Masalah dibaca atau tidak dibaca orang, jangan dipersoalkan.  Kalau dikritik, dan kritikannya membangun, terima. Kalau mencemooh, anggap saja  itu sebagai pelecut diri  untuk membuktikan pada mereka, kita berani menulis dan mempublis tulisan. Jangan patah arang, jadikan cemooh itu pendorong  untuk lebih giat melatih diri, tunjukan pada mereka yang mecemooh, bahwa kita tak ambil pusing dengan mereka, dan kita terus maju, melangkah menggapai impian kita untuk memfasihkan menulis.

                 Pancangkan dalam pikiran kita bahwa kita belajar. Ingatlah bahwa menulis itu melalui proses, dan sadarilah bahwa penulis terkenal pun sama seperti kita, ketika mereka memulai menulis, mereka juga jatuh bangun, mereka juga tidak serta merta fasih menulis. Mereka fasih menulis karena memang terus melakukan, melatih diri dengan terus menulis.
               
                Kalau kita sudah paham dan yakin dengan apa yang dikemukakan di atas, tunggu apa lagi, menulislah. Kalau mau menulis cerpen, tinggal tulis,  selesai, dan publis. Mudahkan?

                Hahaha,   ada yang menyoal, ternyata mudah menulis itu hanya  pada ranah wacana. Ketika  mau menulis, dan bersiap menulis, huuuh, sulitnya minta ampun. Jangankan menyelesaikan satu cerpen, satu paragraf saja  tidak bisa kelar.  Kalau ini masalahnya, berarti kita belum paham apa yang dimaksudkan pada ujaran sebelumnya. Berarti  kita masih terbelunggu, oleh keinginan bahwa menulis harus langsung bagus. Oleh karena itu,  jangan pikir langsung bagus dulu. Bebaskan pikiran kita dari hal demikian. Pikirkanlah bahwa kita  harus menghasilkan tulisan. Kalau kita berpikir ingin menulis cerpen, tulis saja, dan fokuslah pada selesainya tulisan, bukan pada hasil bagus tidaknya tulisan.

                Untuk memudahkan menulis,   menulislah seperti kita bercerita, berbicara pada teman akrab secara lisan.  Coba ingat  berapa banyak kata dan kalimat yang keluar dari lisan kita  ketika berbicara  sama teman, istri, atau anak-anak, sepertinya tidak ada masalah, lancar-lancar saja. Begitulah menulis, anggap saja ketika kita menulis kita bercerita pada teman akrab kita. Fokus dan  libatkanlah emosi, perasaan kita, masuklah pada cerita, kalau cerita sedih, dan kalau perlu menangis menangislah ketika kita menulis.

                Seperti itulah  pengalaman saya, ketika membuat cerpen pertama saya di tahun 2008 dengan judul Kujaga Rahasimu.  Saya menulis sambil menangis, karena saya menjiwai cerita, seolah merasakan sakit hatinya sang tokoh. Begitu pula dengan cerpen saya Pilihan Terindah, yang dimuat dalam buku ini, yang sebelumnya pernah di publis di Majalah Cahaya Nabawy edisi Maret 2012.

                Untuk memulai menulis, kita perlu pemicu untuk melecutkankannya dalam bentuk tulisan. Bahasa sederhanya, menulis cerpen bisa kita mulai dengan menggali ide cerita, tema cerita yang akan kita angkat. Untuk menemukannya banyak cara yang bisa kita lakukan, bisa dari pengalaman pribadi, bisa juga dari pengalaman orang lain, atau kita bisa menemukan ide itu dari bahan bacaan.

                Saya ambil contoh cerpen saya Pilihan Terindah, ide cerita ini saya ambil dari pengalaman teman saya   yang sudah lama menikah, namun belum dikaruniai  anak. Berarti tema umunya, tema sentralnya adalah mengangkat masalah rumah tangga, lalu dipersempit lagi pada masalah rumah tangga yang ingin mendapatkan keturunan. Dari situ saya kembangkan  ceritanya, masalah alurnya mengalir sendirilah, mau kemana terserah saja dulu, konfliknya  juga muncul seiring daya khayal kita, berkalaborasi dengan  pengetahuan yang kita miliki. Kalau sudah selesai, baru saya edit lagi, jadi deh cerpen.
               
                Nah, sudah jelaskan. tunggu apa lagi, menulislah. Kalau sudah menulis, dan hasilnya tulisan. Tentu ada  banyak hal yang bisa kita pelajari kembali dari hasil tulisan kita. Oh ini salah, ini kurang bagus, seharusnya begini. Kalau kita belum bisa menemukan di mana salahnya, di mana jeleknya, jangan takut minta masukan orang lain. Kalau belum menulis, apanya yang diperbaiki, apanya yang dimintai masukan dan kritikan? Oleh karena itu, menulis dululah.

                Semoga  secuil pengalaman ini bisa bermanfaat bagi pembaca, amin. wallahua`lam.