Tuesday, June 2, 2015

Buku; Sawah Terapung



                Tahun 2015 kita dikejutkan dengan pemberitaan adanya beras pelastik sehingga memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat. Situasi seperti ini justeru memicu melonjaknya harga beras di pasaran. Bagi petani mungkin tidak terlalu khawatir dengan adanya beras pelastik ini karena mereka sudah tercukupi dengan hasil padi mereka sendiri.
                Bagi mereka yang kaya tentu harga beras yang cukup mahal tidaklah jadi persoalan, namun bagi masyarakat miskin yang kesehariannya tidak bertani, cukup kerepotan dengan harga beras yang mahal.
                Namun, kita yakin disetiap kejadian tentu ada hikmahnya. Bagi yang lama tidak bertani, mungkin bisa kembali menggarap sawahnya yang lama terbengkalai. Atau, bagi yang belum pernah bertani bisa mencoba belajar bertani. Konon, kabarnya para petani itu tubuhnya sehat-sehat, jarang sakit. Kenapa? Yang pertama lantaran ada aktivitas gerak seperti olahraga, sehingga detak jantung dan peredaran darah berjalan normal. Yang kedua, menurut hasil  penelitian ternyata kubangan lumpur sawah mengandung zat penguat daya tahan tubuh yang dialirkan dari telapak kaki. Nah, tidak salahnya kan kalau yang belum pernah bertani, mencoba bertani untuk kesehatan, sekaligus mengurangi biaya beli beras, hehehe.
                Di sisi lain, terutama di tempat tinggal saya (Panangkalaan) banyak sawah yang tidak digarap. Ada dua alas an mereka menelantarkan sawah mereka, yaitu mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk upah membersihkan sawah dari rumput liar, dan bahkan  enceng gondok. Yang kedua, lantaran harga jual padinya cukup murah, jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan hampir sebanding dengan membeli beras. Nah, kalau harga beras melonjak seperti sekarang ini, mereka pun berkeinginan lagi untuk menggarap sawahnya. Saya pun kepengin. Hehe, Beneran, kok.
                Ya, dulu saya juga pernah bertani, makanya saya menulis buku ini untuk berbagi pengalaman, bagaimana meningkatkan produksi padi dengan biaya yang murah, dan bagaimana menjadikan enceng gondok yang dianggap bala itu menjadi keberkahan bagi petani.
                Saya tergerak menulis buku ini lantaran di tempat lain, terutama di desa kelahiran saya, Garunggang, Ibu saya dan masyarakat di sana sudah lama memanfaatkan keberkahan enceng gondok untuk lahan pertanian mereka, dan hasilnya memuaskan. Mereka menanam padi tanpa harus membersihkan enceng gondok dari lahan sawah mereka, cukup disemprot dengan bahan khusus, setelah mati enceng gondoknya, mereka bertanam di enceng gondok itu walau air sawahnya masih belum surut, mereka cukup menancapkan bibit padi di sela enceng gondok itu tanpa harus menancap ke tanah. Keuntungannya ketika banjir datang, padi yang sudah menyatu dengan enceng gondok tadi ikut terangkat ke atas. Ini solusi jika banjir datang. Dan, jika airnya surut, padi pun ikut ke bawah dan akhirnya menyatu juga dengan tanah. Anehkan? Makanya ketika pengalaman ibu saya itu saya ceritakan kepada para petani di Panangkalaan, mereka tidak ada yang percaya, dan tidak ada yang mau mengerjakan seperti itu.
                Nah, untuk membuktikannya, tahun ini, 2015 saya harus menjadi pelopor bagi mereka. Saya harus bertani lagi, mereka harus melihat buktinya, dengan begitu mereka baru bisa percaya. Oleh karena itu, semua tahapan yang saya lakukan akan saya dokumentasikan secara tertulis dan dilengkapi dengan foto.

Memilih Bibit
Ada berbagai bibit padi yang bisa kita pakai sesuai dengan kebiasaan yang ditanam. Untuk kondisi sawah tadah hujan kita harus memilih bibit yang ringan, dalam arti cepat berbuah dalam waktu yang relatif singkat. Kalau berat, lambat berbuahnya, dikhawatirkan keburu datang banjir.
Senin, 1 Juni 2015 bertepatan 14 Sya`ban 1436 H, saya berangkat ke toko yang menjual bahan dan alat pertanian. Karena bibit dalam kemasan habis, aku beli bibit biasa saja, jenis R, R berapa aku lupa, termasuk ringan kata yang menjual. Sebagai bahan percobaan ½ belik cukup menurutku. Soalnya lahannya pun tidak begitu luas. Lahan yang akan saya tanami adalah sawah nenek yang sudah lama tidak digarap yang penuh dengan enceng gondok.
Mengolah Bibit
Sekitar pukul 12 siang, Senin itu, saya langsung merendam bibit. Tumpah bibit padi ke dalam jidar, lalu tuangkan air  ke dalamnya. Biarkan selama 24 jam, atau  sesuai dengan pengalaman yang sudah ada, tergantung bibit yang digunakan, kalau bibit baru panen cukup 24 jam, kalau bibit lama yang tersimpan setahun atau lebih, merendamnya bisa sampai dua hari.
Hari berikutnya, Selasa, 2 Juni 2015 setelah salat Zuhur, bibit saya tiriskan. Istilah kita, bibit siap dipadat. Alat yang saya gunakan adalah karung bekas semen, cukup 3 lembar. Satu untuk hamparan, dua lembar untuk tutupannya. Alat lain bisa digunakan adalah daun pisang. Bibit sisakan sedikit, masukkan ke cangkir untuk mengetahui perkambangan tumbuh tidaknya bibit, jika tumbuh yang di dalam cangkir berarti tumbuh juga yang di dalam pengolahan bibit tadi.
Bersambung

No comments:

Post a Comment