Tahun
2015 kita dikejutkan dengan pemberitaan adanya beras pelastik sehingga memicu
kekhawatiran di kalangan masyarakat. Situasi seperti ini justeru memicu
melonjaknya harga beras di pasaran. Bagi petani mungkin tidak terlalu khawatir dengan
adanya beras pelastik ini karena mereka sudah tercukupi dengan hasil padi
mereka sendiri.
Bagi
mereka yang kaya tentu harga beras yang cukup mahal tidaklah jadi persoalan,
namun bagi masyarakat miskin yang kesehariannya tidak bertani, cukup kerepotan
dengan harga beras yang mahal.
Namun,
kita yakin disetiap kejadian tentu ada hikmahnya. Bagi yang lama tidak bertani,
mungkin bisa kembali menggarap sawahnya yang lama terbengkalai. Atau, bagi yang
belum pernah bertani bisa mencoba belajar bertani. Konon, kabarnya para petani
itu tubuhnya sehat-sehat, jarang sakit. Kenapa? Yang pertama lantaran ada
aktivitas gerak seperti olahraga, sehingga detak jantung dan peredaran darah
berjalan normal. Yang kedua, menurut hasil
penelitian ternyata kubangan lumpur sawah mengandung zat penguat daya
tahan tubuh yang dialirkan dari telapak kaki. Nah, tidak salahnya kan kalau
yang belum pernah bertani, mencoba bertani untuk kesehatan, sekaligus
mengurangi biaya beli beras, hehehe.
Di sisi
lain, terutama di tempat tinggal saya (Panangkalaan) banyak sawah yang tidak
digarap. Ada dua alas an mereka menelantarkan sawah mereka, yaitu mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan untuk upah membersihkan sawah dari rumput liar,
dan bahkan enceng gondok. Yang kedua,
lantaran harga jual padinya cukup murah, jika dibandingkan dengan biaya yang
harus dikeluarkan hampir sebanding dengan membeli beras. Nah, kalau harga beras
melonjak seperti sekarang ini, mereka pun berkeinginan lagi untuk menggarap
sawahnya. Saya pun kepengin. Hehe, Beneran, kok.
Ya,
dulu saya juga pernah bertani, makanya saya menulis buku ini untuk berbagi
pengalaman, bagaimana meningkatkan produksi padi dengan biaya yang murah, dan
bagaimana menjadikan enceng gondok yang dianggap bala itu menjadi keberkahan
bagi petani.
Saya
tergerak menulis buku ini lantaran di tempat lain, terutama di desa kelahiran
saya, Garunggang, Ibu saya dan masyarakat di sana sudah lama memanfaatkan
keberkahan enceng gondok untuk lahan pertanian mereka, dan hasilnya memuaskan.
Mereka menanam padi tanpa harus membersihkan enceng gondok dari lahan sawah
mereka, cukup disemprot dengan bahan khusus, setelah mati enceng gondoknya,
mereka bertanam di enceng gondok itu walau air sawahnya masih belum surut,
mereka cukup menancapkan bibit padi di sela enceng gondok itu tanpa harus
menancap ke tanah. Keuntungannya ketika banjir datang, padi yang sudah menyatu
dengan enceng gondok tadi ikut terangkat ke atas. Ini solusi jika banjir
datang. Dan, jika airnya surut, padi pun ikut ke bawah dan akhirnya menyatu juga
dengan tanah. Anehkan? Makanya ketika pengalaman ibu saya itu saya ceritakan
kepada para petani di Panangkalaan, mereka tidak ada yang percaya, dan tidak
ada yang mau mengerjakan seperti itu.
Nah,
untuk membuktikannya, tahun ini, 2015 saya harus menjadi pelopor bagi mereka.
Saya harus bertani lagi, mereka harus melihat buktinya, dengan begitu mereka
baru bisa percaya. Oleh karena itu, semua tahapan yang saya lakukan akan saya
dokumentasikan secara tertulis dan dilengkapi dengan foto.
Memilih Bibit
Ada berbagai bibit padi yang bisa kita pakai sesuai dengan
kebiasaan yang ditanam. Untuk kondisi sawah tadah hujan kita harus memilih
bibit yang ringan, dalam arti cepat berbuah dalam waktu yang relatif singkat.
Kalau berat, lambat berbuahnya, dikhawatirkan keburu datang banjir.
Senin, 1 Juni 2015 bertepatan 14 Sya`ban 1436 H, saya
berangkat ke toko yang menjual bahan dan alat pertanian. Karena bibit dalam
kemasan habis, aku beli bibit biasa saja, jenis R, R berapa aku lupa, termasuk
ringan kata yang menjual. Sebagai bahan percobaan ½ belik cukup menurutku.
Soalnya lahannya pun tidak begitu luas. Lahan yang akan saya tanami adalah
sawah nenek yang sudah lama tidak digarap yang penuh dengan enceng gondok.
Mengolah Bibit
Sekitar pukul 12 siang, Senin itu, saya langsung merendam
bibit. Tumpah bibit padi ke dalam jidar, lalu tuangkan air ke dalamnya. Biarkan selama 24 jam, atau sesuai dengan pengalaman yang sudah ada,
tergantung bibit yang digunakan, kalau bibit baru panen cukup 24 jam, kalau
bibit lama yang tersimpan setahun atau lebih, merendamnya bisa sampai dua hari.
Hari berikutnya, Selasa, 2 Juni 2015 setelah salat Zuhur,
bibit saya tiriskan. Istilah kita, bibit siap dipadat. Alat yang saya
gunakan adalah karung bekas semen, cukup 3 lembar. Satu untuk hamparan, dua
lembar untuk tutupannya. Alat lain bisa digunakan adalah daun pisang. Bibit
sisakan sedikit, masukkan ke cangkir untuk mengetahui perkambangan tumbuh
tidaknya bibit, jika tumbuh yang di dalam cangkir berarti tumbuh juga yang di
dalam pengolahan bibit tadi.
Bersambung
No comments:
Post a Comment