Aktivitas menulis oleh sebagian
orang dikatakan sesuatu yang sulit.
Lebih-lebih bagi mereka yang dasar keilmuannya
bukan kebahasaan. Menulis artikel, menulis cerpen, menulis novel sulit?
Benarkah sesulit yang kita bayangkan?
Ah, tidak juga tuh. Buktinya,sangat
banyak penulis yang tidak berlatar belakang dasar keilmuan kebahasaan mampu
menulis dengan baik. Mengapa? Karena memang mereka berlatih dan mau
melakukannya. Karena bahasa itu lakuan
dari hasil latihan, karena tulisan tidak lepas dari bahasa, tentu saja menulis
pun perlu latihan.
Terkadang ada saja kendala menulis
yang kita hadapi. soal waktu, soal kesibukan, soal tidak ada bakatlah. Padahal
semua itu cuma alasan sebagai pembenar untuk tidak menulis.
Soal waktu bisa dicari, soal
kesibukan bisa disiasati, soal tidak ada bakat bisa digali. Sebenarnya tidak
ada alasan sebagai pembenar tidak menulis bagi yang memang benar-benar kepengin jadi penulis dan mau mencoba.
Bagi
yang berkeinginan jadi penulis, pokoknya tidak ada alasan pembenar dalam
benaknya. Orang yang benar – benar berkeinginan menulis pasti bisa menjadikan
tantangan dan kendala yang ia hadapi menjadi sebuah peluang. Terkecuali memang orang
yang tidak mau. Raja alasan dan permaisuri berdalih tidak akan menghasilkan
tulisan.
Menulis bak berbicara saja. Tidak
perlu repot memikirkan apa yang harus ditulis. Kalau terbesit di hati keinginan
menulis tentang ini itu, ya lakukan saja dan tulis. Pastinya hasilnya tulisan,
menulis bukan hanya sekadar ingin memang. Menulis ya melakukan, menulis ya menulis.
Lalu kalau menulis saja, tanpa
memperhatikan kaidah penulisan. Apa tidak takut dicemooh, tidak takut dimaki.
Walah belajar menulis kok takut. Kalau takut mati saja sekalian. Kalau dicemooh
biarin aja, wong orang baru belajar menulis, siapa juga ngaku-ngku penulis
hebat, kalau kenyataannya ketika kita belajar menulis memang pantas dicemooh
dan dimaki, ya terima aja dengan senyum. Ambil saja pelajaran dari cemoohan dan
caci maki orang itu, dan terus saja menulis, ibarat orang yang baru belajar
berjalan mau dibandingkan dengan atlet
pelari cepat, tak masuk di nalar, ya, kan? Yang bisa dinalar itu kalau
belajar menulis ya dengan menulis, kalau mau belajar berjalan ya dengan
berjalan, gitu aja repot.
Jangan heran kalau orang yang
memosisikan dirinya sebagai orang yang belajar akan bisa melejitkan dirinya
melebihi orang yang senangnya mecela orang lain. Dan ia pun tetap mengaku
posisi dirinya sebagai orang yang belajar, walau sebenarnya sudah ahli. Karena
apa? Karena menurutnya sehebat apa pun
dirinya, tidak lepas dari kesalahan, pastinya ada saja kekurangannya, sungguh
penyadaran bahwa hanya hak Allahlah
kesempurnaan itu. Tatkala ia sudah diberikan kemampuan dan keterampilan, ia pun
mengembalikan hak kesempurnaan itu kepada pemilik hakiki karena ia sadar bahwa keterampilan dan
kemampuan yang milikinya adalah karunia dari Allah semata, bukan lantaran jerih
payah, usaha keras yang ia lakukan.
Benar memang, Allah tidak akan mengubah
nasip suatu kaum kalau tidak manusia itu sendiri mengubahnya. Lalu apakah usaha
keras yang selama ini kita lakukan dengan jalan terus berlatih, terus
menulis sudah lepas dari campur tangan
pertolonganNya? Tidaklah demikian. Penyadaran akan pertolongan dan karunia-Nyalah
sebagai pengendali dari kesombongan, sehingga kita tidak terjebak seperti apa
yang dialami Qarun dan Firaun.
Hatinya tidak akan terluka karena
cemoohan dan cacian orang, dan hidungnya pun tidak akan mekar karena pujian
orang. Santai saja, dan terus menulis. Sampai menemukan penyadaran diri dalam
menulis, bahwa kita memang berhajat kepada yang
mengajarkan manusia dengan qalam.
*Tulisan diambil dari buku saya yang berjudul Sekarang Saatnya Belajar Menulis dengan Menulis
No comments:
Post a Comment