Tuesday, June 26, 2012

Menulis, Membangkitkan Kesadaran Diri*




            Aktivitas menulis oleh sebagian orang  dikatakan sesuatu yang sulit. Lebih-lebih bagi mereka yang dasar keilmuannya  bukan kebahasaan. Menulis artikel, menulis cerpen, menulis novel sulit? Benarkah sesulit yang kita bayangkan?

            Ah, tidak juga tuh. Buktinya,sangat banyak penulis yang tidak berlatar belakang dasar keilmuan kebahasaan mampu menulis dengan baik. Mengapa? Karena memang mereka berlatih dan mau melakukannya.  Karena bahasa itu lakuan dari hasil latihan, karena tulisan tidak lepas dari bahasa, tentu saja menulis pun perlu latihan.

            Terkadang ada saja kendala menulis yang kita hadapi. soal waktu, soal kesibukan, soal tidak ada bakatlah. Padahal semua itu cuma alasan sebagai pembenar untuk tidak menulis.

            Soal waktu bisa dicari, soal kesibukan bisa disiasati, soal tidak ada bakat bisa digali. Sebenarnya tidak ada alasan sebagai pembenar tidak menulis bagi yang memang benar-benar  kepengin jadi penulis dan mau mencoba.

            Bagi yang berkeinginan jadi penulis, pokoknya tidak ada alasan pembenar dalam benaknya. Orang yang benar – benar berkeinginan menulis pasti bisa menjadikan tantangan dan kendala yang ia hadapi menjadi sebuah peluang. Terkecuali memang orang yang tidak mau. Raja alasan dan permaisuri berdalih tidak akan menghasilkan tulisan.

            Menulis bak berbicara saja. Tidak perlu repot memikirkan apa yang harus ditulis. Kalau terbesit di hati keinginan menulis tentang ini itu, ya lakukan saja dan tulis. Pastinya hasilnya tulisan, menulis bukan hanya sekadar ingin memang. Menulis ya melakukan, menulis  ya menulis.

            Lalu kalau menulis saja, tanpa memperhatikan kaidah penulisan. Apa tidak takut dicemooh, tidak takut dimaki. Walah belajar menulis kok takut. Kalau takut mati saja sekalian. Kalau dicemooh biarin aja, wong orang baru belajar menulis, siapa juga ngaku-ngku penulis hebat, kalau kenyataannya ketika kita belajar menulis memang pantas dicemooh dan dimaki, ya terima aja dengan senyum. Ambil saja pelajaran dari cemoohan dan caci maki orang itu, dan terus saja menulis, ibarat orang yang baru belajar berjalan mau dibandingkan dengan atlet  pelari cepat, tak masuk di nalar, ya, kan? Yang bisa dinalar itu kalau belajar menulis ya dengan menulis, kalau mau belajar berjalan ya dengan berjalan, gitu aja repot.

            Jangan heran kalau orang yang memosisikan dirinya sebagai orang yang belajar akan bisa melejitkan dirinya melebihi orang yang senangnya mecela orang lain. Dan ia pun tetap mengaku posisi dirinya sebagai orang yang belajar, walau sebenarnya sudah ahli. Karena apa? Karena menurutnya  sehebat apa pun dirinya, tidak lepas dari kesalahan, pastinya ada saja kekurangannya, sungguh penyadaran bahwa  hanya hak Allahlah kesempurnaan itu. Tatkala ia sudah diberikan kemampuan dan keterampilan, ia pun mengembalikan hak kesempurnaan itu kepada pemilik hakiki  karena ia sadar bahwa keterampilan dan kemampuan yang milikinya adalah karunia dari Allah semata, bukan lantaran jerih payah, usaha keras yang ia lakukan.

            Benar memang, Allah tidak akan mengubah nasip suatu kaum kalau tidak manusia itu sendiri mengubahnya. Lalu apakah usaha keras yang selama ini kita lakukan dengan jalan terus berlatih, terus menulis  sudah lepas dari campur tangan pertolonganNya? Tidaklah demikian. Penyadaran akan pertolongan dan karunia-Nyalah sebagai pengendali dari kesombongan, sehingga kita tidak terjebak seperti apa yang dialami Qarun dan Firaun.

            Hatinya tidak akan terluka karena cemoohan dan cacian orang, dan hidungnya pun tidak akan mekar karena pujian orang. Santai saja, dan terus menulis. Sampai menemukan penyadaran diri dalam menulis, bahwa kita memang berhajat kepada yang  mengajarkan manusia dengan qalam.

*Tulisan   diambil dari  buku saya  yang berjudul Sekarang Saatnya Belajar Menulis dengan Menulis

No comments:

Post a Comment