Tetesan embun masih membasahi rerumputan di kiri - kanan jalan yang aku lalui, burung
jalak, perkutut, melantunkan lagu kedamaian, mengiringi hembusan angin perlahan.
Ah…sudah lama aku
tidak melewati jalan ini, begitu sepi, beda dari lima tahun sebelumnya, biasanya jam segini sudah ramai dilalui orang.
Sepuluh meter dari tempatku berdiri, ada bangku panjang
yang tertancap kokoh di bawah rindang dedaunan. Aku coba istirahat di bangku itu.
Tidak jauh dari
tempat dudukku ada seseorang yang duduk membelakangiku, kepalanya menunduk, aku
dengar sayup-sayup isak tangis, sementara derai
daun pohon yang ditiup angin menambah suasana pilu.
Aku membatin,
kejadian apa yang menimpa dirinya, sehingga dia bermuram durja seperti
itu, kehilangan anak, atau ditinggal
mati suaminya barangkali, atau kematian anak yang dia sanyangi atau ditinggal
sang kekasih, atau, atau, atau. Aah… ngapain aku tanya dalam hati, lebih baik
aku hampiri saja dia.
“Maaf Nak, apa gerangan yang membuatmu bersedih?”
Tidak ada jawaban
yang keluar dari mulutnya. “Dimana rumah mu biar bapak antar pulang. Tidak baik
seorang gadis sendirian di sini, berbahaya!”
Berbagai
pertanyaan yang aku lontarkan, tidak satupun ia jawab, hanya tangis sebagai
jawabannya.
Karena masih
penasaran, keesokan harinya, aku lewat di jalan itu lagi, ternyata gadis itu
masih ada di tempatnya seperti kemaren, aku bertanya dalam hati, apakah dia
tidak pulang?, atau dia pagi- pagi sudah berangkat dari rumah dan duduk-duduk
di tampat ini, melepaskan kesedihannya.
Nak.., setiap ada
malam, pasti ada siang, tidak selamanya gelap. setiap kesusahan pasti ada
kemudahan, tidak ada permasalahan yang tidak mungkin diselesaikan, kalau kita mau berbagi dengan orang lain, coba
ceritakan apa masalah yang kau hadapi, dengan begitu, dapat mengurangi beban
penderitaanmu.
Ia mengangkat
wajahnya, menatapku. Mulutnya bergetar, kata-katanya terbata: “ A,a,aku”, ia
terisak.
“Tidak ada
seorang pun yang dapat meringankan penderitaanku, tidak ada seorang pun yang
dapat menonolongku, bahkan semua orang di kampung ini mencela, menghinaku. Mereka
tidak salah kalau mereka menghina dan
mencelaku karena memang aku pantas dihina dan dicela. Aku sangat
menyesal, penyesalan yang tak ada ujungnya”.
“Memangnya apa yang
terjadi?”
“Berat, sangat
berat, dosa yang aku perbuat sangat besar, mungkin sudah memenuhi langit dan
bumi”. Ia menunup wajahnya dengan kedua tangannya, ia senggugukkan.
“Dosaku tak terampuni, aku sudah menjadi seorang
pembunuh” Ia semakin terisak, “aku sudah membunuh darah dagingku sendiri”.
“MasyaAllah,
Innalillah” sentakku
“Dosa di atas dosa
Pak, aku hamil di luar nikah, orang yang menghamiliku tidak mau bertanggung
jawab, aku menanggung malu, aku putus asa, akal sehatku tidak jalan lagi sampai
akhirnya, aku nekat bunuh diri dengan memotong urat nadi tanganku, namun aku
masih tertolong, sampai akhirnya aku melahirkan, aku menyesal dan malu, punya
anak tanpa ayah, aku tidak berpikir panjang, anak yang baru aku lahirkan yang
tak tahu apa-apa, tidak berdosa, aku
buang ke sungai”. Tangisannya makin memilukan.
“Tidak ada orang
yang tidak pernah berbuat dosa Nak, Karena kita adalah tempat salah dan hilap.
Sebesar apapun dosa yang kita perbuat, sungguh rahmat dan ampunan Allah sangat besar
dan luas melebihi dosa yang kita perbuat. Penyesalan yang kau tunjukkan adalah
bukti penyadaran terhadap kesalahan. Selama kita mau bertobat dengan sungguh.
Allah akan menerima tobat dan mengampuni kita”
“Benarkah?, aku
bisa terampuni”
“Asal kita mau
bertekad untuk memperbaiki diri, aku yakin Allah akan mengampunimu, mohon ampun
dan bertobatlah, kembalilah kepada Allah.
****
Semenjak pertemuan
itu aku tidak pernah melihatnya lagi duduk di tempat itu. Dua bulan berselang, aku bertemu dengannya di
tempat yang berbeda, di pasar, aku
melihat perempuan itu penampilannya
tidak lagi seperti orang kebanyakan, ia berpenampilan seperti orang abnormal.
Apa yang terjadi?
****
“Aku memang sudah berubah, Pak. Aku coba memperbaiki
diri. Dan inilah hasilnya, sebagaimana yang Bapak lihat”.
“Ya, aku mengerti kamu memang sudah berubah, tapi
mengapa harus seperti ini?”
Begini, waktu itu
tepat jam dua dinihari, seperti biasa aku melaksanakan shalat tahajjud,
sebagaimana yang Bapak anjurkan, setelah shalat aku mohon ampun kepada Allah,
aku ucapkan astaghfirullah dengan penuh penyesalan, aku menangis mengingat
dosa-dosa yang pernah aku lakukan. Tiba-tiba, tubuhku seperti melayang,
berputar masuk sebuah lorong yang gelap, bau anyir darah dan bangkai menyeruak masuk penciumanku, perutku mulai mual, bergolak dan akhirnya
menguras seisi perutku.
Tubuhku berhenti berputar, ternyata tubuhku semakin ringan, aku melayang
seperti kapas, terus melayang sehingga aku tiba di ujung lorong.
Aku melihat secercah cahaya, dari kejauhan, kecil seperti
bola, tapi cukup untuk menerangi
sekitarnya, cahaya itu menuju ke arahku,
semakin dekat, cahaya itu semakin membesar, membesar dan membesar, sampai
akhirnya pecah di hadapanku, membentuk tujuh buah bola cahaya.
Satu persatu bola cahaya bergerak ke arahku. Bola cahaya
pertama masuk dan bersemayam di kepalaku,
terasa dingin, bola cahaya kedua bersemayam di dua tanganku, bola cahaya ketiga
merasuk pada kedua kakiku, yang keempat bersemayam di perutku, bola
kelima meresap di kedua mataku, bola keenam mengendap di kedua telingaku. Tubuhku
semakin menggigil. Tiba pada bola yang terakhir. Ia bergerak surut ke belakang dan berputar,
aku mengira ia akan meninggalkanku, ternyata ia hanya mengambil ancang-ancang
untuk melakukan serangan.
Di luar dugaanku, ternyata benturan keras bola itu
mengilangkan rasa dingin di tubuhku. Namun, dadaku terasa remuk.
Aku berusaha bangkit. Aku terus berusaha, sampai
akhirnya aku berhasil berdiri. Ketika aku berhasil tegak dengan kedua kaki yang
belum seimbang, bola itu menghantam dadaku lagi, akhirnya aku tersungkur lagi.
Aku merasakan nyeri yang teramat sangat. Aku pasrah. Tidak
ada kekuatan lagi yang bisa aku kerahkan untuk berdiri, disaat aku tersungkur dan merasa tidak berdaya, tidak ada lagi kemampuan yang bisa aku upayakan, bola
cahaya berhenti menyerangku.
Perlahan namun pasti, cahaya itu mulai bergerak lagi ke
arahku, Saat-saat yang mendebarkan, mungkinkah
ajalku akan tiba? Cahaya itu
terus bergerak. Ketika cahaya itu sampai persis di hadapanku, ia berhenti, kemudia berputar mengelilingiku
sebanyak tujuh putaran, kemudian kembali ke hadapanku.
Jantungku berdetak kencang, nafasku memburu, aku pasrah dengan kemungkinan yang terburuk yang
akan menimpaku.
Tiba-tiba bola cahaya itu berputar sangat cepat sehingga menimbulkan bunyi yang
sangat memekakkan telingaku. Aku tidak sanggup menutup kedua telingaku, karena aku sudah tidak
berdaya. Tangan dan kakiku tidak sanggup aku gerakkan, cahaya itu terus berputar
di porosnya sampai mengepulkan asap yang tebal sehingga asap itu menyelimuti tubuhku
dan menutupi pandanganku.
Perlahan asap mulai menipis, bunyi bising mulai
berkurang. Perlahan asap tadi berubah
menjadi cahaya dan membentuk sesosok tubuh. Alangkah terkejutnya aku,
sesosok tubuh itu ternyata diriku sendiri. Allahuakbar…
subhanallah..., masyaallah.
Aku terus menyungkur dan merasakan ketiadaan. Ketika aku memandang langit, wajahku ada
disitu. Ketika memandang bulan dan bintang yang indah ternyata wajahku juga ada
di situ. Dalam jilatan api yang menyala,
di setiap tangisan bayi, disetiap
tawa, canda dan kesedihan, siang dan malam,
di setiap warna, di setiap sudut, ruang dan waktu. Allahuakbar…..
Aku merasakan
kesejukan, kedamaian abadi. Namun, setelah aku kembali pada puncak kesadaran. Akal
dan jiwaku memaksaku untuk menyembunyikan jati diriku yang sebenarnya. Aku
diperintahkan menjadi manusia abnormal, agar senantiasa merasakan kelemahan, rasa hina, dan selalu berhajat
kepada Sang Pencipta jagat raya. Begitulah Pak, hanya Bapak yang tahu ceritaku
ini, Tolong rahasikan jati diriku.