Banyak orang beranggapan bahwa menulis itu susah, menulis
itu sulit. Apakah Reader termasuk orang yang beranggapan seperti itu?
Padahal, jika Reader
tahu caranya, Reader tidak akan beranggapan seperti itu lagi. Untuk menjadi
penulis, syaratnya tidak terlalu rumit. Reader
cukup tidak buta aksara. Itulah modal
dasarnya. Selanjutnya, Reader terus berlatih menulis dengan menulis. Karena
menulis merupakan keterampilan, untuk mendapatkannya tidak ada cara lain
kecuali dengan banyak berlatih. Ibarat orang yang ingin jadi pendekar, sesakti apa pun jurus yang
diajarkan gurunya, tanpa latihan, jurus sakti itu tak akan ada ada artinya.
Begitulah dengan menulis.
Belajar menulis, ya dengan menulis. Tak perlu banyak tanya, tak perlu
banyak menyoal, tak perlu banyak beralasan. Tulis, pastinya tulisan pun ada. Persoalan belum bagus, masih banyak salahnya, tak perlu dipersoalkan. Hal
itu jauh lebih bagus ketimbang tidak menulis. Menulis, nyata hasilnya tulisan.
Nah, dari tulisan itulah Reader belajar. Kalau salah, tinggal perbaiki. Kalau
belum bagus, menulis lagi yang lebih bagus. Kalau belum menulis, apa yang harus
diperbaiki? Oleh karena itu, menulis
dulu, baru Reader tahu mana salah, mana kurangnya.
Baik
Reader! Saya akan menunjukkan jurus sakti yang harus Reader miliki agar bisa
jadi pendekar, hehehe, penulis maksudnya.
1. Berani Bermimpi dan Kerja Keras
Ketika Reader melihat artikel, cerpen di surat kabar atau majalah,
di sana terpampang nama dan foto
penulisnya, terbetik dalam hati rasa
kagum pada penulisnya. Diam-diam Reader ingin seperti dia. Namun, Reader tak tahu caranya, tak tahu bagaimana
memulainya. Dan, ketika Reader memulai
menulis, Reader bingung sendiri. Apa
yang harus Reader tulis, dan dari mana Reader menulisnya.
Saat Reader mencoba menulis satu paragraf, lalu Reader
terhenti, pikiran terasa buntu. Lalu Reader
memvonis diri tidak mampu, tidak
bisa, tidak punya bakat, dan kata-kata
`tidak` lainnya yang disadarkan
ke diri sendiri. Reader pun menganggap, menulis itu hanya milik
orang-orang yang pintar dan berbakat saja, menulis hanya dimiliki oleh orang
yang berpendidikan tinggi saja, menulis hanya dimiliki oleh orang yang usianya
sudah matang, dan berpengalaman saja. Dan, kata-kata `hanya` dan `hanya` terus
tergiang dalam diri Reader yang menandaskan diri
tidak mampu.
Padahal, penulis-penulis mahir itu pun seperti Reader
juga. Awalnya, ada rasa mender, seperti yang Reader rasakan, tetapi mereka menemukan cara jitu mengatasi
kekurangan mereka. Akhirnya, mereka menghasilkan tulisan, mampu menulis, pintar
menulis. Apa yang mereka lalukan itulah yang harus Reader ambil sebagai bahan
pelajaran.
Coba perhatikan, ketika
Reader mencoba menulis satu kali, lalu gagal, serta-merta Reader menganggap
diri Reader tidak mampu, dan Reader tidak mencobanya lagi. Itulah kesalahan
fatal yang Reader lakukan.
Kesalahan fatal seperti
itu jangan sampai menimpa Reader. Reader perhatikan orang yang
belajar bersepeda, pada mulanya belum bisa, lalu mencoba, mencoba lagi,
mencoba lagi dan akhirnya, ia pun bisa bersepeda. Bahkan, ketika orang itu terus mencoba dengan
gaya-gaya yang baru, tidak hanya bersepeda biasa, mereka pun bisa bergaya,
menjamping, dan mampu melakukan akrubatik dengan berbagai gaya. Semua itu bisa
mereka dapatkan dengan latihan, kerja keras, dan pantang menyerah. Hal ini menegaskan bahwa
yang dikatakan Thomas Alfa Edison
memang benar bahwa kesuksesan seseorang itu hanya 1 persen karena bakat dan 99 persennya karena kerja keras.
Selama ini yang Reader
pelihara adalah kelemahan jiwa, tidak berani
bercita-cita, tidak berani berkeinginan karena berpegang pada nalar
bahwa Reader tidak mungkin bisa jadi
penulis karena merasa ilmu cuma secuil, pendidikan tidak
tinggi, menulis itu cuma milik orang
yang berbakat saja, Reader tidak bisa menyisihkan waktu untuk itu, dan berbagai
alasan untuk mematahkan semangat Reader
sendiri.
Bermimpi,
berkeingianan, bercita-cita saja Reader tidak berani, padahal berkeinginan dan
bercita-cita tidak memerlukan biaya. Reader
tahu, cita-cita luhur, berkeingan yang baik adalah bagian dari ibadah, walau
belum terwujudkan. Lalu, apakah hanya sampai di situ, hanya sampai di mimpi
saja? Rugi dong. Lalu?
Kalau Reader memang
berani bermimpi jadi penulis, bercita-cita jadi penulis, ingin pintar menulis,
sekarang bangun dan bergeraklah, wujudkan keinginan Reader itu dengan
melakukan.
Siapa pun Reader, apa
pun profesi Reader, dan berapa pun usia Reader, dan apa pun latar belakang
pendidikan Reader, asal Reader bisa membaca dan menulis dan mau berlatih dan
bekerja keras, pasti bisa menjadi penulis. Orang dikatakan penulis bukan karena
usianya, bukan karena pendidikannya, tetapi karena tulisannya.
Dalam konteks belajar
menulis, Reader tak perlu pusing memikirkan apakah Reader berbakat atau tidak, langsung saja Reader
menulis dan menulis sampai pintar menulis.
Tidak ada hal sia-sia walaupun awalnya Reader salah, dari situlah Reader tahu bahwa itu salah.
Oleh karena itu, bagi Reader
yang merasa tidak memiliki bakat menulis, jangan takut dan ragu untuk menjadi
penulis. Banyak penulis ternama saat ini, dulunya, mereka tidak mengetahui diri mereka
berbakat atau tidak. Yang mereka lakukan adalah terjun dan menyelam langsung
dalam dunia kepenulisan, di mana pun, kapan pun. Mereka sadar sepenuhnya bahwa
kesuksesan itu akan bisa dicapai dengan kerja keras. Menulis dan terus menulis.
Ini yang perlu Reader
camkan dalam pikiran. Selama ini Reader menganggap bahwa menulis itu cuma bisa
dimiliki oleh orang yang berbakat saja, harus ini, harus itu. Padahal anggapan
itu tidak sepenuhnya benar. Asumsi semacam itu perlu Reader ubah.
Reader merasa tidak
berbakat, tidak ada potensi. Itu tidak benar karena Reader dan kita semua
memiliki potensi yang sama, yaitu diberikan otak, pikiran. Potensi itulah yang
harus Reader gunakan. Bakat tidak akan ada artinya kalau Reader tidak berlatih
menulis dengan menulis, dan terus berlatih menulis.
Reader merasa mender karena jenjang pendidikan cuma lulus SD?
Jangan mender, menulis bukan tergantung jenjang pendidikan, tetapi dari kemauan
dan kerja keras. Potensi otak itulah yang harus dimanfaatkan. Reader tahu bahwa
menulis itu adalah keterampilan setingkat SD. Bukankah Adam Malik yang pernah menjadi
Wapres RI itu, cuma sampai kelas lima SD?
Namun, beliau sangat mahir dalam mengarang. Jenjang pendidikan tidak perlu
terlalu dipikirkan karena pengetahuan bisa diraup tidak hanya di bangku sekolah
kan? Banyak cara bisa ditempuh untuk memperolehnya. Pengetahuan yang ada di
otak itulah yang kita tulis, apa pun bentuknya; artikel, buku, cerpen, dan sebagainya.
Ratna Indraswari Ibrahim (almarhumah), beliau banyak menerima penghargaan di bidang kepenulisan lantaran
karya-karya beliau. Beliau tidaklah seberuntung orang kebanyakan. Beliau cacat dan tidak bisa menggunakan tangan untuk
menulis. Beliau menulis hanya di otak
dan meminta orang lain untuk menuliskan
gagasan-gagasan beliau dalam bentuk cerpen. Ini luar biasa, beliau yang cacat
saja bisa berkarya, lalu bagaimana dengan Reader yang diberi kesempurnaan fisik?
Jadi, mulai sekarang jangan takut
dengan tulisan yang kacau, jangan malu kalau tulisan Reader masih belum bagus.
Hal itu wajar saja karena Reader baru belajar. Jangan cemas, teruslah berlatih
menulis dengan menulis. Saya yakin Reader pun akan piawai menulis.
Saya sering
mengingatkan teman-teman yang ingin
belajar menulis, lawanlah rasa takut itu dengan menulis. Ingatlah falsafah bayi! Coba Reader perhatikan bagaimana
pertumbuhan dan perkembangan bayi. Apakah ia langsung bisa berdiri dan
berjalan, bahkan bisa berlari? Tidak kan?
Ketika anak baru belajar berjalan
ia mencoba bangkit dari duduknya. Ia pun terjatuh, namun ia coba bangkit lagi.
Ia tak pernah mengatakan berdiri itu
susah. Ia tidak mengenal kata susah, yang
ia kenal hanya coba dan coba lagi, ia hanya mengenal bahwa ia harus bisa berdiri.
Setelah ia bisa berdiri, ia coba melangkah satu langkah, kemudian jatuh,
tetapi ia tak pernah menyerah. Akhirnya, ia pun bisa berjalan. Bahkan, sekarang
sudah bisa berlari.
Ingatlah ketika pertama kali Reader memiliki hp dan belajar mengetik sms! Apa yang pertama kali Reader rasakan? Awalnya
susah, tetapi Reader tak pernah berhenti.
Akhirnya, Reader mahir menggunakan hp Reader sendiri. Bahkan, ketika
menyetir atau berkenderaan Reader tidak kesulitan melakukannya. Tangan Reader
seolah melihat huruf-huruf di tuts hp.
Seperti itulah yang harus Reader lakukan
kalau memang Reader berkeinginan jadi
penulis.
Jadi, kalau pertama
kali berlatih menulis, wajar saja Reader salah, wajar saja belum bagus.
Ketahuilah penulis tenar pun awalnya seperti Reader. Namun, mereka tak pernah
menyerah, tak pernah takut tulisan mereka tidak bagus, mereka terus menulis,
dan terus menulis, begitu pula dengan Reader. Yakinlah Reader juga bisa seperti
mereka.
2.
Perlu Motivasi
Motivasi
adalah pendorong melakukan
sesuatu. Ibarat kerita api, motivasi adalah lokomotifnya, mesin penggeraknya. Kalau timbul rasa malas,
atau Reader sedang tidak mood. Tanya
diri, mengapa Reader harus menulis?
Motivasi
atau alasan mengapa orang menulis bermacam-macam. Apa pun bentuknya, tidak jadi
persoalan, yang penting dengan motivasi itu Reader bisa bersemangat menulis.
Apa
pun motivasinya, semuanya bagus dan baik, selama menulis itu tidak bermaksud
menyebar fitnah, membuat perpecahan, dan mendidik kepada akhlak yang
buruk. Dan, akan lebih afdhal lagi kalau
menulis itu dilandasi niat ikhlas karena Allah.
Atau
begini, agar mood tetap terjaga, Reader bisa memakai teori yang ditawarkan buku Quantum Learning, yaitu teori AMBAK (Apa
manfaatnya bagiku). Dengan bertanya begitu
Reader tentu akan menggali apa gerangan manfaat menulis itu buat Reader.
Bagi pemula, tentu manfaatnya adalah memfasihkan menulis itu sendiri. Minimal Reader
akan terlatih mengetik, dan hafal letak huruf-huruf di tuts laptop Reader.
Dengan
menulis, Reader bisa berbagi informasi, bisa mendapatkan banyak teman, mengikat
pengetahuan dan wawasan pun bertambah, dapat menghilangkan kerak-kerak otak, berperan mencerdaskan orang lain, berdakwah, hati pun gembira, dan seterusnya.
Intinya, manfaat menulis sangat banyak buat Reader. Silakan Reader menggalinya lebih lanjut. Dengan mengingat
manfaat tadi, Reader akan termotivasi lagi menulis, dan terus menulis.
3. Memenej Waktu dan Melawan Diri
Menulis
memang sebuah pilihan, saya tidak bisa memaksa Reader harus menulis karena
menulis dan tidak menulis itu pilihan Reader. Reader sendiri yang menentukan mau menulis atau tidak. Ketika Reader memang
ingin jadi penulis, hilangkanlah alasan tak punya waktu, hilangkan alasan
sibuk.
Kalau
sibuk yang menjadi alasan tidak menulis, Apakah Reader lebih sibuk dari Rektor UIN Malang, Pak Imam
Suprayogo? Lalu mengapa beliau bisa menulis
setiap hari setelah salat Subuh? Karena beliau mewajibkan diri, melawan diri, memenej diri
untuk menulis pada waktu itu.
Kalau
Reader hanya menggerutu dengan kesibukan, dan tidak bisa menyiasati kesibukan,
saya jamin, mimpi Reader jadi penulis
akan terkubur dalam tidur panjang Reader.
Jadi,
kalau memang Reader berpikir bisa, pasti bisa karena Readerlah yang
menyudahinya, mau atau tidaknya melakukan dan melatihnya, serta mengatur waktu.
Waktu akan terus berputar dan berlalu begitu saja. Saya tidak bisa memaksa Reader
harus menulis tengah malam, atau setelah
salat subuh seperti yang dilakukan Pak Imam, atau disela-sela kesibukan, sekali lagi saya tidak bisa memaksa Reader. Memenej waktu itu urusan Reader sendiri,
terserah kapan Reader menentukan waktunya. Tentukan sendiri kapan Reader mau,
silakan. Setelah itu, disiplinlah mengisi waktu yang sudah Reader tentukan tadi
dengan menulis.
Menulis itu tidak tergantung suasana yang ada
di luar diri Reader. Waktu tenang atau ribut, asal mau mencoba menulis, pasti
bisa menulis. Misalnya, menulis sambil
menonton TV, kalau mau melakukan, bisa juga. Ini karena menulis tidak mesti
tergantung suasana tenang. Ketenangan itu ada di diri Reader. Saat orang ribut,
Reader bisa menulis karena Reader bisa membuat ketenangan itu dalam
pikiran Reader sendiri, pasti menulis
lancar-lancar saja.
Jadi,
bagi Reader yang berkeinganan menulis, tak perlu terbeban dengan kesibukan,
menulislah ketika ada kesempatan, kapan saja, di mana saja, Reader bisa
menulis, merdekakanlah pikiran Reader dari semua beban itu, niscaya Reader bisa
menulis. Lebih-lebih Reader yang tidak sibuk.
Untuk
mencapai keterampilan semacam itu, yakni
menulis kapan dan di mana saja, juga tidak serta merta didapat, tentu dengan
dicoba, diuji pada diri sendiri, dilatih dan dilatih. Nah, kalau Reader belum
pernah mencobanya, bagaimana Reader bisa mengatakan bahawa Reader mampu
melakukannya. Lakukan dulu, dan yakinkan Reader bisa menulis dalam waktu yang Reader
tentukan, setelah itu, coba keluar dari kebiasaan Reader.
4. Posisikan Diri Sebagai Pembelajar